TUGAS
BUDAYA JAMBI
“ CERITA RAKYAT JAMBI”
Cerita Rakyat
dari Jambi
Mitos Datuk Darah Putih merupakan
cerita tentang seorang panglima perang kerajaan yang ada di daerah dusun Sungai
Aro, kabupaten Tebo, Jambi. Mitos tentang Datuk Darah Putih ini dipercayai oleh
masyarakat dusun sungai Aro sebagai seorang panglima yang mempunyai darah
berwarna putih bila mengalami luka ditubuhnya.
Cerita tentang Datuk Darah Putih
disebutkan pada masa penjajahan Belanda ke daerah Sungai Aro. Raja sungai Aro
merasa khawatir akan nasib rakyatnya yang terbelenggu rantai penjajahan.
Bermusyawarahlah raja dengan para panglima untuk mengantisipasi berbagai
kemungkinan serangan yang akan menimpa kerajaan. Keputusan raja bahwa gerakan
Belanda harus dihadang di laut. Berdasarkan strategi tempat penghadangan adalah
di Pulau Berhala. Tugas itu dibebankan pada Datuk Darah Putih. Perntah itu
diterima dengan tegas walau saat itu istri Datuk Darah Putih sedang hamil tua.
Perpisahan itu tanpa isak tangis sang istri. Istrinya tahu bahwa suaminya pergi
berjuang untuk membela Jambi dari jajahan Belanda. Datuk Darah Putih dan
seluruh anggota pasukan pilihan tersebut berjalan dengan gagah berselempan
semangat dan kejantanan yang tinggi.
Sesampainya di Pulau Berhala Datuk
Darah Putih dan pasukannya mendirikan benteng pertahanan mulai dari pantai sampai
ke puncak bukit. Beberapa hari kemudian kapal pasukan Belanda datang ke Pulau
Berhala untuk mengambil persediaan minum. Pada saat itulah serangan mendadak
pasukan Datuk Darah Putih dilancarkan ke Belanda. Karena sama sekali tidak
mengira serangan itu membuat Belanda kewalahan dan akhirnya kalah oleh pasukan
Datuk Darah Putih. Seluruh isi kapal disita dan kapal Belanda dibakar.
Menjelang malam keempat setelah
kemenangannya Datuk Darah Putih dan pasukannya kembali menghadang Belanda yang
dating di tengah laut. Pertempuran pun berlangsung beberapa hari dan ternyata
pihak Belanda jauh lebih besar dan kuat dalam persenjataan. Kekalahan dalam
jumlah dan senjata yang akhirnya membuat pasukan Datuk Darah Putih kalah. Di
pertempuran itu Datuk Darah Putih terpenggal kepalanya oleh pedang prajurit
Belanda. Kapalnya pun hancur dan tenggelam ke laut. Dari urat leher yang
terputus bersimbah darah berwarna putih masih terdengar suara Datuk Darah Putih
yang memerintahkan anak buahnya untuk segera membawanya mundur sedangkan yang
lain meneruskan perlawanan. Oleh anak buahnya, Datuk Darah Putih di bawa ke
benteng pertahanan. Kemudian Datuk Darah Putih memerintahkan anak buahnya untuk
mencari batu sengkalan (penggiling cabai) untuk menutup lukanya. Setelah
menutup lukanya dengan batu sengkalan maka berhentilah darah yang mengalir.
Seperti tidak mengalami kecelakaan, Datuk Darah Putih beserta anak buahnya
kembali bergabung dengan anggota pasukannya. Ia mengamuk dan menghantam habis
semua serdadu Belanda. Pertempuran akhirnya dimenangi oleh Belanda.
Esok harinya Datuk Darah Putih
kembali ke Negeri Sungai Aro. Ketika sampai di Sungai Aro, ia dipapah menuju
rumahnya dan ia tidak mampir menghadap raja terlebih dahulu. Rakyat ikut
mengiringinya sampai ke anak tangga rumah. Sang istri telah menunggu dan telah
melahirkan seorang putra. Melihat kondisi suaminya yang sudah tanpa kepala, ia
tetap pasrah dan kepulangan itu juga tidak ditangisinya. Kemudian Datuk Darah
Putih perlahan meraih bayi dalam buaian. Sang bayi diam terlelap dalam tidurnya
dan dengan kedua tangan yang kokoh Datuk Darah Putih mendekap anaknya ke
dadanya dan kembali meletakkannya di buaian. Orang-orang yang hadir tenggelam
dalam keharuan dan melinangkan air mata melihat dan merasakan seolah-olah ada
dialog perpisahan diantara ayah dan anak, diantara suami dan istri, diantara
panglima dan anak buahnya. Datuk Darah Putih pelan-pelan tertunduk dan kemudian
berbaring di dekat buaian anak tercinta, anak ang hanya dapat dirabanya dan
didekapnya tana mengetahui bentuk dan rupanya. Bersamaan dengan suara zan ashar
yang sayup-sayup sampai dari kejauhan, tubuh Datuk Darah Putih terbujur kaku
tak bernafas lagi.
Putri Cermin Cina (Cerita Rakyat Dari Jambi)
Dahulu di daerah Jambi ada sebuah
negeri yang diperintah oleh seorang Raja yang bernama Sutan Mambang Matahari.
Sutan mempunyai seorang anak laki-laki bernama Tuan Muda Selat dan seorang anak
perempuan bernama Putri cermin Cina. tuan Muda Selat adalah seorang pemuda yang
berwajah tampan tapi sifatnya sedikit ceroboh. Sedangkan Putri Cermin Cina
adakah seorang putrid yang cantik jelita, baik hati, dan lemah lembut.
Pada suatu hari, dating saudagar
muda ke daerah itu, saudagar muda itu bernama Tuan Muda Senaning. Mula-mula
tujuan Tuan Muda Senaning hanya untuk berdagang, namun saat penjamuan makan
Tuan Muda Senaning bertamu dengan Putri Cermin Cina. seketika itu Tuan Muda
Senaning jatuh hati pada Putri Cermin Cina. Demikian pula, diam-diam Putri
Cermin Cina juga menaruh hati pada Tuan Muda Senaning. Putri Cermin Cina
menyarankan untuk Tuan Muda Senaning dating kepada ayahandanya Sutan Mambang
Matahari untuk melamarnya.
Tidak lama kemudian tuan Muda Senaning datang mengahadap
Sutan Mambang Matahari untuk melamar Putri Cermin Cina. Sutan Mambang Matahari
dengan senang hati menerima lamaran Tuan Muda Senaning karena memang Tuan Muda
Senaning mempunyai perangai yang baik dan sopan. Tapi Sutan Mambang Matahari
terpaksa menunda pernikahan Tuan Muda Senaning dengan Putri Cermin Cina selama
tiga bulan karena Sutan harus berlayar untuk mencari bekal pesta pernikahan
putrinya. Sebelum berangkat berlayar, Sutan Mambang Matahari berpesan pada Tuan
Muda Selat untuk menjaga adiknya dengan baik.
Pada suatu hari, selepas
keberangkatan Sutan Mambang Matahari, TuanMuda Senaning dan Tuan Muda Selat
asyik bermain gasing di halaman istana. Mereka tertawa tergelak-gelak makin
lama makin asyik sehingga orang yang memdengarpun turut tertawa senang. Hal itu
mebuat Putri Cermin Cina penasaran dan ingin melihat keasyikan kakaknya dan
calon suaminya, ia melihat dari jendela. Kehadiran Putri Cermin Cina terlihat
oleh dua orang itu, sambil menoleh kearah jendela, Tuan Muda Senaning melepas
tali gasingnya. Gasing Tuan Muda Senaning mengenai gasing Tuan Muda Selat.
Karena berbenturan keras sama keras, gasing Tuan Muda Selat melayang dan
terpelanting tinggi.
Gasing itu terpelanting kearah Putri Cermin Cina yang
melihat dari jendela. Gasing itu berputar diatas kening Putri Cermin Cina.
Putri Cermin Cina menjerit kesakitan. Kening Putri Cermin Cina berlumuran
darah, ia jatuh ke lantai tak sadarkan diri. semua orang panik dan berusaha
menolong Putri Cermin Cina. Namun takdir berkata lain, Putri yang cantik jelita
itu akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir.
Tuan Muda Senaning sangat merasa
bersalah atas kematian Putri Cermin Cina, dia menjadi putus asa dan gelap mata.
Dia melihat dua tombak bersilang di dinding, dengan cepat tombak itu di tarik
dan di tancapkan ke tanah dengan posisi mata tombak mencuat ke atas. Kemudian
Tuan Muda Senaning melompat kearah mata tombak dan seketika itu mata tombak
menembus perutnya hingga punggungnya. Tuan Muda Senaning meninggal untuk menyusul
Putri Cermin Cina.
Semua warga membantu mengurus dua jenazah orang yang
saling jatuh cinta itu. Tuan MudaSelat begitu kalut dan bingung. Ayahandanya
pasti marah besar apabila mengethui keadin itu. kedua jenazah itu akhirnya
dikuburkan. Jenazah putri Cermin Cina dikubur di tepi sungi, Sedangkan jenazah
Tuan Muda Senaning dibawa anak buahnya ke kapal, dan kapal itu berlayar ke
seberang. Jenazah Tuan Muda Senaning dikuburkan di tempat itu diberi nama dusun
Senaning.
Tuan Muda Selat juga merasa bersalah atas kematian adik
tercintanya, dia terus menyalahkan dirinya karena gasingnya, Putri Cermin Cina
meninggal dunia. Akhirnya Tuan Muda Selat pergi meninggalkan negerinya bersama
orang-orang kampung. Orang-orang yang ikut dengannya ditinggal di suatu tempat
dan tempat itu di sebut Kampung Selat. Namun Tuan Muda Selat pergi tanpa
memiliki tujuan yang jelas.
Tidak lama kemudian Sutan Mambang
Matahari tiba di kampungnya. Sutan bingung karena kampungnya begitu sepi, dia
menuju istanan namun hanya tersisa beberapa orang yang menjaga istana beberapa
orang yang menjaga istana. Setelah Sutan tahu tentang kejadian sebenarnya,
Sutan Mambang Matahari merasa sedih, kemudian ia beserta pengikutnya pergi
meninggalkan kampungnya, mereka pergi ke dusun seberang dan mendirikan kampung
disana. Kampung itu terletak diantara kubur Tuan Muda Senaning, dan kapal Tuan
Muda Selat. Kampung itu bernama Dusun Tengah Lubuk Ruso.
Legenda cerita ini oleh rakyat Jambi
dianggap benar-benar terjadi karena ada hubungannya dengan nama-nama kampung di
Kabupaten Batanghari, Jambi.
Tema dari cerita rakyat diatas adalah kehidupan muda-mudi
yang saling mencintai hingga akhir hayat mereka. Tokoh yang terdapat pada
cerita rakyat ini adalah Putri Cermin Cina, Tuan Muda Senaning, Tuan Muda
Selat, Sutan Mambang Matahari, pengikut Tuan muda Senaning, dan orang-orang
kampung. Putri Cermin Cina mempunyai watak baik hati dan lemah lembut, tuan
Muda Senaning Berwatak sopan dan baik, Tuan Muda Selat berwatak agak ceroboh
dan hormat pada ornag tuanya, Sutan Mambang Matahari berwatak bijaksana, baik
hati dan sangat menyayangi kedua anaknya, sedangkan pengikut Tuan Muda Senaning
berwatak setia pada Tuannya dan orang kampung berwatak setia menemani Tuannya,
membantu sabisa mungkin. Cerita rakyat yang berjudul Putri Cermin Cina ini
menggunakan alur maju karena disepanjang cerita dari awal hingga akhir berjalan
secara urut dan teratur. Dan juga menggunakan alur tertutup karena akhir cerita
telah diketahui bahwa Putri Cermin Cina meninggal dunia kemudian Tuan Muda
Senaning juga ikut bunuh diri karena tidak bisa hidup tanpa Putri Cermin Cina,
Tuan Muda Selat pergi meninggalkan kampungnya, dan Sutan Mambang Matahari juga
pergi meninggalkan kampungnya karena merasa sedih atas kematian Putrinya dan
atas semua yang telah terjadi.
Setting/latar cerita yang terdapat
dalam cerita rakyat ini adalah setting waktu disaat Tuan Muda Senaning tiba di
kampung Putri Cermin Cina, saat jamuan makan, saat Tuan Muda Senaning melamar
Putri Cermin Cina, saat bermain gasing. Sedangkan setting tempatnya adalah di
negeri yang yang di pimpin Sutan Mambang Matahari, di halaman istana, di kapal
pelayaran, di tepi sungai tempat makam Putri Cermin Cina, Kampung Selat, Dusun
Senaning, Dusun Tengah Lubuk Ruso. Setting suansana yang terdapat dalam cerita
rakyat ini adalah suasana gembira dan bahagia saat lamaran Tuan Muda Senaning
diterima oleh Sutan Mambang Matahari, saat Tuan Muda Senaning dan Tuan Muda
Selat bermain gasing bersama, suasana sedih dan haru saat kematian Putri Cermin
Cina dan Tuan Muda Senaning. Sudut pandang yang digunakan adalah pencerita
serba hadir karena di dalam cerita menggunakan kata ganti “ia atau dia” dan
juga dengan menyebutkan nama tokohnya. dalam cerita ini terdapat beberapa
majas, yaitu majas metafora dalam kata-kata “ jatuh hati, menaruh hati, dan
gelap mata” juga ada majas personifikasi dalam kata “ takdir berkata lain”.
Amanat yang terkandung dalam cerita rakyat ini adalah apabila melakukan sesuatu
jangan ceroboh karena sedikit kecerobohan akan dapat menimbulkan akibat yang
fatal, saat mendapat musibah harus di terima dengan ikhlas karena itu kehendak
Yang Kuasa, jangan menghadapi sesuatu dengan gelap mata, semua harus dipikiran
dengan matang dan pikiran yang tenang, dan juga jangan melepas tanggung jawab
yang telah di bebankan pada kita.
Itulah sinopsis cerita rakyat yang
berjudul “Putri Cermin Cina, cerita rakyat dari Jambi” dan analisis
cerita rakyat yang mengupas unsure-unsur intrinsic yang terdapat dalam cerita
rakyat tersebut. Setiap cerita pasti mengandung amanat yang akan disampaikan
pada pembaca, dan semoga amanat yang terkandung dalam cerita rakyat ini dapat
bermanfaat bagi kehidupan kita selanjutnya.
Asal Mula Nama Lempur, Tebat Gelang, dan Tebat
Jambi
Jambi – Indonesia
Lempur, Tebat Gelang, dan Tebat
Jambi merupakan tiga nama daerah yang terletak di wilayah Provinsi Jambi.
Keberadaan nama ketiga daerah tersebut terkait dengan cerita seorang putri yang
durhaka terhadap ibunya. Siapakah putri itu dan bagaimana ia durhaka kepada
ibunya? Berikut kisahnya dalam cerita Asal Mula Nama Lempur, Tebat
Gelang, dan Tebat Jambi.
* * *
Dahulu, di Kabupaten Kerinci,
Provinsi Jambi, terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Puncak Tiga Kaum.
Dinamakan demikian karena kerajaan ini dipimpin oleh tiga orang bersaudara,
yaitu si sulung Pamuncak Rencong Talang, si tengah Pamuncak Tanjung Sari, dan
si bungsu Pamuncak Koto Tapus. Wilayah Kerajaan Puncak Tiga Kaum sangat
luas dan subur sehingga untuk mengelolanya, ketiga saudara ini membagi wilayah
kerajaan menjadi 3 bagian. Masing-masing mendapat bagian tersendiri dan berhak
mengatur wilayah beserta rakyat di dalamnya. Meskipun wilayah Kerajaan Puncak
Tiga Kaum terbagi menjadi 3 bagian, namun segala urusan kerajaan senantiasa
mereka selesaikan dengan jalan musyawarah dan saling membantu.
Pamuncak Rencong Talang dan kedua adiknya merupakan
pemimpin yang adil dan bijaksana. Kepemimpinan tersebut membuat rakyat hidup
makmur, aman, dan tenteram. Sudah menjadi kebiasaan, jika suatu daerah akan
menanam atau saat musim panen tiba, mereka mengadakan upacara kenduri. Kenduri
yang diadakan setelah panen dinamakan Kenuhei Sudeah Nuea. Acara keduri
tersebut biasanya dihelat sangat meriah. Mereka mengundang warga dari daerah
lain beserta para pemuka masyarakat yang terdapat di daerah tersebut.
Suatu ketika, daerah Pamuncak
Rencong Talang sedang panen padi dan memperoleh hasil yang melimpah. Ia pun
bermaksud mengadakan pesta kenduri Kenuhei Sudeah Nuea.
“Wahai, saudara-saudara sekalian. Hasil panen kita tahun
ini cukup melimpah. Sebagai ucapan syukur atas nikmat ini, maka acara kenduri Kenuhei
Sudeah Nuea akan segera kita laksanakan,” ungkap Pamuncak Rencong Talang,
“Tolong siapkan segala sesuatu yang diperlukan, termasuk undangan untuk para
tamu!”
“Baik, Paduka,” kata para pemuka masyarakat serentak.
Persiapan upacara kenduri Kenuhei
Sudeah Nuea pun segera dilaksanakan. Seluruh rakyat daerah itu terlihat
sibuk. Pamuncak Rencong Talang juga melayangkan undangan kepada saudaranya,
Pamuncak Tanjung Sari dan Pamuncak Koto Tapus, beserta seluruh kerabatnya.
Acara kenduri rencananya akan berlangsung selama tiga hari. Hari pertama,
khusus untuk undangan dari luar daerah, hari kedua untuk keluarga para pamuncak
daerah dan orang-orang tua, dan hari ketiga khusus untuk para pemuda dan
pemudi.
Waktu acara kenduri Kenuhei
Sudeah Nuea telah tiba. Pada hari pertama, para tamu undangan dari luar
daerah mulai berdatangan. Acara itu berlangsung tertib, aman, dan meriah.
Memasuki hari kedua, para tamu undangan dari keluarga para pamuncak juga hadir.
Pamuncak Koto Talang hadir bersama keluarga dan beberapa pengawalnya. Sementara
itu, Pamuncak Tanjung Sari hanya didampingi oleh para punggawanya.
Pada hari ketiga, putri Pamuncak
Tanjung Sari yang cantik pun hadir dengan didampingi oleh ibunya. Saat memasuki
tempat pesta, sang Putri menjadi pusat perhatian para pemuda. Di kursi deretan
paling belakang, tampak dua pemuda sedang berbisik-bisik membicarakan
kecantikan gadis itu.
Sementara acara kenduri berlangsung,
ibu sang Putri berkumpul bersama keluarga Pamuncak Rencong Talang. Ia sengaja
tidak bergabung bersama putrinya karena acara itu khusus untuk kaum muda-mudi.
Acara itu berlangsung sangat meriah. Semua undangan turut menikmati berbagai
hidangan dan acara pertunjukan seni yang digelar malam itu. Saking asyiknya,
mereka tidak menyadari jika ayam sudah berkokok pertanda hari sudah pagi.
Ibu sang putri segera bergegas ke tempat acara untuk
mengajak putrinya pulang. Ia khawatir kalau putrinya jatuh sakit akibat kurang
tidur.
“Putriku, ayo kita pulang!” bujuk sang ibu.
Sang putri tidak menghiraukan ajakan
ibunya. Ia masih saja asyik menikmati pesta itu bersama tamu undangan lainnya.
Karena tidak dihiraukan, sang ibu pun kembali berkumpul bersama keluarga
Pamuncak Rencong Talang. Selang beberapa saat kemudian, ia kembali ke tempat
pesta itu untuk memanggil putrinya.
“Ayo putriku, kita pulang! Hari sudah siang,” bujuk sang
ibu.
Lagi-lagi sang putri tidak menghiraukan ajakan ibunya.
Bahkan, ia merasa terganggu oleh ajakan ibunya. Salah seorang pemuda yang duduk
bersamanya pun bertanya kepada sang putri.
“Hai, Putri. Siapa gerangan perempuan tua itu?” tanya
pemuda itu.
“Oooh... perempuan tua itu pembantuku,” jawab sang putri.
Jawaban dari sang putri terdengar hingga ke telinga sang
ibu. Tak disangka putri kesayangannya tega berkata seperti itu. Hatinya sakit
sekali bagai diiris sembilu. Putri yang amat disayanginya itu tidak mengakuinya
sebagai ibu.
“Oh, Tuhan. Ampunilah dosa-dosa, Putriku!” doa sang ibu.
Setelah acara selesai, istri Pamuncak Tanjung Sari
beserta putrinya berpamitan pada keluarga Pamuncak Rencong Talang untuk pulang
ke daerahnya. Perjalanan pulang memerlukan waktu yang lama karena jauhnya jarak
ke rumah. Mereka harus melewati lembah, perbukitan, sawah, dan ladang. Di
tengah perjalanan, mereka bertemu dengan rombongan pemuda yang bersama sang
putri tadi malam. Karena kelelahan, kedua rombongan itu memutuskan untuk
beristirahat bersama-sama di suatu tempat. Pada saat istirahat, pemuda itu
kembali bertanya kepada sang putri.
“Maaf, Putri. Siapa sebenarnya perempuan tua yang selalu
bersamamu itu?” tanya pemuda itu.
“Bukankah sudah ku katakan kalau dia itu pembantuku?”
jawab sang putri.
Doa sang ibu yang tulus itu dikabulkan oleh Tuhan Yang
Mahakuasa. Begitu sang putri melalui rawa, kakinya terjebak lumpur rawa.
Semakin lama, lumpur rawa itu terus menyedot sang putri hingga hampir
tenggelam. Putri durhaka itu pun meraung-raung meminta tolong kepada ibunya.
Menyesal kemudian tiadalah guna, sang ibu sudah terlanjur
sakit hati. Ia pun tidak menghiraukan permintaan putrinya. Ketika melihat
putrinya sudah tenggelam sampai sebatas dagu, sang ibu cepat-cepat mendekati
putrinya, namun bukan untuk menolong, melainkan mengambil perhiasan berupa
gelang dan sehelai songket (selendang khas Jambi) yang dikenakan putrinya.
Begitu ia selesai mengambil barang-barang tersebut, sang putri pun tenggelam ke
dalam lumpur rawa. Sejak itulah, daerah itu dinamakan Lempur, yaitu diambil
dari kata lumpur.
Setelah itu, sang ibu melanjutkan perjalanan. Setibanya
di sebuah tempat, ia beristirahat sejenak untuk melepas lelah. Saat melihat
sebuah tebat (kolam), ia kemudian mendekati kolam itu untuk membasuh
badan dan mukanya. Ketika hendak membasuh mukanya, tiba-tiba gelang milik
putrinya terjatuh. Gelang itu mengingatkan pada putrinya yang telah meninggal
dunia. Agar tidak terus menerus teringat pada putrinya, ia akhirnya membuang
gelang itu ke dalam tebat. Sejak itulah, tempat tersebut dinamakan Tebat
Gelang.
Usai beristirahat, istri Pamuncak
Tanjung Sari itu kembali melanjutkan perjalanan. Setiba di sebuah tempat yang
ada kolamnya, ia kembali beristirahat. Ketika ia hendak membasuh badan,
tiba-tiba selendang songket milik putrinya yang dikalungkan di lehernya
terjatuh. Perempuan tua itu pun kembali teringat pada putrinya. Agar bayangan
putrinya tidak mengganggunya lagi, ia pun membuang selendang khas Jambi itu ke
dalam tebat. Tempat tersebut kemudian dinamakan Tebat Jambi.
Tan Talanai
Jambi – Indonesia
Tan Talanai adalah seorang raja yang
pernah memerintah di sebuah kerajaan di Jambi pada sekitar pertengahan abad
ke-15 Masehi. Sang raja memiliki seorang bayi laki-laki yang diharapkan dapat
meneruskan tahta sebagai Raja Jambi. Namun, baru beberapa hari setelah putranya
lahir, Raja Tan Talanai justru membuangnya ke lautan lepas. Mengapa Raja Tan
Talanai membuang putra kandungnya sendiri ke laut? Lalu, bagaimana nasib anak
yang malang itu selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Tan Talanai Berikut
ini!
* * *
Pada zaman dahulu kala, Negeri Jambi
dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana bernama Dewa Sekerabah atau
biasa dikenal si Pahit Lidah. Namun sayang, sang raja tidak mempunyai keturunan
sehingga ketika ia wafat, Negeri Jambi menjadi kacau balau. Rakyatnya membentuk
kelompok-kelompok dan kemudian saling berperang satu sama lain.
Kabar tentang kekacauan di Negeri Jambi tersebar hingga
ke berbagai penjuru. Mendengar kabar tersebut, Tan Talanai yang memerintah di
Rabu Menarah, Turki, berambisi untuk menguasai Negeri Jambi. Dengan berbagai
upaya, akhirnya ia berhasil mengusai negeri itu dan menjadi raja di sana.
Tan Talanai adalah raja yang arif dan bijaksana sehingga
rakyat negeri itu kembali damai, makmur, dan sejahtera. Seluruh rakyat menyukai
gaya kepemimpinan Tan Talanai. Sang raja pun amat bahagia karena merasa
hidupnya telah sempurna. Selain memiliki kekuasaan dan dihormati oleh
rakyatnya, ia juga mempunyai harta benda yang melimpah. Namun, ada satu hal
yang selalu mengganjal di pikiran Tan Talanai, yaitu karena ia belum mempunyai
anak. Ia senantiasa berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar dikaruniai
keturunan.
Beberapa bulan kemudian, sang permaisuri melahirkan
seorang anak laki-laki yang tampan. Tan Talanai menyambutnya dengan perasaan
bahagia. Selang tiga hari setelah bayi itu lahir, Tan Talanai mendapat laporan
dari ahli nujum istana bahwa kehadiran bayi itu justru akan membawa malapetaka
bagi kerajaannya.
Raja Negeri Jambi itu mulanya ragu
dengan apa yang baru saja didengarnya. Namun karena amat percaya dengan ucapan
si ahli nujum istana, maka sang raja pun segera memerintahkan patihnya, Datuk
Emping Besi, untuk membuang putranya ke lautan.
“Datuk Emping Besi, hanyutkan anak itu ke tengah laut!”
titah Tan Talanai.
Datuk Emping Besi sebenarnya tidak tega membuang bayi
itu, namun karena perintah raja ia pun terpaksa melakukannya. Sementara itu,
sang permaisuri yang mengetahui anak semata wayangnya itu hendak dibuang ke
laut menjadi bersedih hati. Ia pun segera membujuk sang raja agar mengurungkan
niatnya.
Sang permaisuri pun tidak kuasa
mencegah keinginan Tan Talanai. Akhirnya, Datuk Emping Besi bersama beberapa
pengawal istana segera memasukkan bayi itu ke dalam peti lalu membuangnya ke
lautan lepas. Peti yang berisi bayi itu pun hanyut terbawa arus gelombang laut
hingga terdampar di perairan Negeri Siam (sekarang negara Thailand).
Sementara itu, ratu Negeri Siam yang bernama Tuan Putri
sedang asyik memancing di laut dengan menggunakan perahu bersama pengawalnya.
Saat itu, tiba-tiba ia melihat sebuah peti terapung di permukaan air laut.
Setelah diperiksa, ternyata pada
dinding peti itu terdapat sebuah tanda yang menunjukkan bahwa bayi tersebut
adalah putra Tan Talanai, sang Raja Jambi. Meskipun demikian, Tuan Putri tetap
membawa pulang bayi itu ke istananya. Alangkah senangnya hati Tuan Putri karena
memang sudah lama ia mendambakan seorang anak.
Sejak itu, putra Tan Talanai itu
menjadi salah satu anggota keluarga Kerajaan Siam. Di bawah asuhan Tuan Putri,
bayi itu tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan sakti. Ia sangat mahir
bermain silat karena sejak kecil ia dilatih ilmu olah kanuragan oleh para
pendekar Kerajaan Siam. Selain itu, anak itu juga pandai bergaul dengan
teman-teman sebayanya.
Suatu hari, sepulang dari bermain bersama teman-temannya,
anak itu duduk termenung seorang diri di pendapa istana. Hatinya sedih karena
teman-temannya sering mengolok-oloknya bahwa ia tidak mempunyai ayah. Menyadari
bahwa dirinya memang selama ini hanya dirawat dan dibesarkan oleh Tuan Putri,
ia pun segera menemui ibunya itu untuk menanyakan siapa sebenarnya ayahnya.
Ayah. Kalau boleh tahu siapa sebenarnya ayah Ananda, Bu?”
Mendengar pertanyaan itu, Tuan Putri menghela nafas
panjang. Kemudian Tuan Putri menceritakan bahwa ayahnya adalah seorang raja di
Negeri Jambi yang bernama Tan Talanai.
“Lalu, bagaimana Ananda bisa berada di istana ini, Bu?”
tanya anak itu bingung.
“Hmmm… keadaan ini memang sangat sulit untuk dipercaya,
Putraku,” kata Tuan Putri.
“Apa maksud Ibu?” anak itu semakin bingung.
“Ketahuilah, Putraku. Sebenarnya, aku bukanlah ibu
kandungmu. Ibu hanya menemukanmu terapung-apung di tengah laut saat kamu masih
bayi dan merawatmu. Kedua orang tuamu saat ini berada di Negeri Jambi,” jelas
Tuan Putri.
Mendengar penjelasan itu, anak itu menjadi marah. Ia pun
bertekad untuk menghabisi nyawa ayahnya yang telah tega membuangnya sewaktu
masih bayi.
“Dasar orang tua tidak berperasaan! Ia pantas
dibinasakan!” geram si anak menahan amarah.
Anak itu pun menyusun rencana untuk melakukan penyerangan
ke Negeri Jambi pada tahun depan. Tuan Putri yang mengetahui rencana itu,
berupaya membujuk anak itu agar mengurungkan niatnya agar tidak terjadi
peperangan antara anak dengan orang tuanya sendiri. Namun, anak itu tetap
bertekad keras untuk menyerang kerajaan yang dipimpin oleh ayah kandungnya itu.
Akhirnya, Tuan Putri secara diam-diam mengirim utusan ke Negeri Jambi untuk
memberitahukan Tan Talanai mengenai rencana anaknya itu.
Di Negeri Jambi, Tan Talanai yang telah mendengar berita
tersebut menjadi marah. Ia pun memerintahkan para menterinya untuk
mempersiapkan pertahanan di sekitar ibukota Negeri Jambi.
Singkat cerita, genap satu tahun sudah berlalu. Putra Tan
Talanai bersama para pasukannya sedang bergerak menuju ke Jambi. Setiba di
negeri itu, perang antara dua pasukan yang masing-masing dipimpin oleh anak dan
ayah itu tidak dapat dihindari. Pasukan sang anak langsung menyerang dan dapat
mengalahkan pasukan sang Ayah, yang tersisa hanya Raja Tan Talanai. Pertarungan
satu lawan satu pun terjadi. Ayah dan anak itu sama-sama sakti sehingga duel
berlangsung dengan seru sampai pada akhirnya Tan Talanai mengalah karena
menyadari semua kekhilafannya.
“Baiklah, Putraku. Jika Ananda memang benar-benar ingin
membunuh Ayah, ambillah sebuah batu yang runcing lalu tikamkan ke tubuhku.
Hanya itu satu-satunya cara yang dapat membunuh Ayah,” kata Tan Talanai. “Tapi,
sebelum Ananda lakukan itu, tolong dengarkan dulu penjelasan Ayah. Ayah
benar-benar sangat menyesal telah percaya begitu saja pada ramalam ahli nujum
yang mengatakan bahwa Ananda akan mencelakai Ayah.”
Mendengar penjelasan dari ayahnya, hati anak itu menjadi luluh.
Ia pun memeluk sang ayah.
“Maafkan Ananda, Ayah! Ananda sudah lancang ingin
membunuh Ayah,” ucap anak itu sambil meneteskan air mata.
“Sudahlah, Putraku! Ayahlah yang harusnya minta maaf
karena telah menyia-nyiakanmu,” kata sang ayah.
Anak itu pun memaafkan semua kekhilafan ayahandanya dan
mengajak ayah serta ibu kandungnya untuk tinggal di Kerajaan Siam bersama Tuan
Putri. Akhirnya, mereka pun hidup berbahagia. Beberapa tahun kemudian, putra
Tan Talanai itu diangkat menjadi raja yang kemudian menurunkan Raja-raja Siam
berikutnya. Hingga saat ini, sebagian orang percaya bahwa Raja Siam berasal
dari Jambi dan Raja Jambi berasal dari Turki.
Putri Ayu Nyimas Rahima
Jambi – Indonesia
Dahulu, di Tanah Pulih atau tepatnya
di daerah Tanjung Pasir, Jambi, ada seorang gadis cantik bernama Putri Rahima.
Ia adalah putri semata wayang Kemas Mahmud, seorang tokoh yang dihormati di
kampung itu. Kecantikan Putri Rahima bagai bidadari dari kahyangan. Selain
cantik, ia juga pandai mengaji dengan suara yang merdu. Sopan-santun dan
budi-bahasanya pun amat elok. Kemahirannya memasak, menjahit, menenun, dan
merenda membuat putri Kemas Mahmud itu semakin sempurna sebagai gadis idaman
bagi setiap pemuda.
Kabar tentang kecantikan Putri
Rahima tersebar hingga ke seluruh pelosok wilayah Jambi, meskipun pada saat itu
sedang berkecamuk perang melawan Belanda. Para pemuda pejuang Jambi yang banyak
bergerilya ke tengah-tengah hutan pun mendengar kabar tersebut. Berita itu juga
sampai ke telinga Sultan Muhammad yang memerintah di daerah Kampung Lereng. Ia
adalah sultan yang masih muda, tampan, dan berwibawa. Ia juga terkenal saleh
dan taat beribadah.
Suatu hari, Sultan Muhammad diam-diam meninggalkan istana
untuk membuktikan berita tentang kecantikan Putri Rahima. Ternyata benar, saat
melihat kecantikan putri Kemas Mahmud itu, Sultan Muhammad berdecak kagum.
“Oh, Putri Rahima benar-benar gadis
yang sempurna. Kecantikannya sungguh luar biasa dan tiada tandingannya di
negeri ini,” gumam Sultan Muhammad dengan kagum.
Kecantikan Putri Rahima telah memikat hati Sultan
Muhammad. Ia pun tak sabar lagi ingin segera meminangnya. Setelah kembali ke
istana, sultan muda itu segera mengumpulkan beberapa pembesar kerajaan dan kemudian
mengutus mereka untuk meminang Putri Rahima.
“Maaf, Pak Kemas. Kedatangan kami kemari untuk
menyampaikan pinangan Tuan kami Sultah Muhammad untuk putri Pak Kemas,” kata
salah seorang utusan.
“Kami menyambut baik atas niat baik raja kalian. Tapi, berilah
kami waktu satu hari untuk merundingkan masalah ini bersama keluarga kami,”
pinta Pak Kemas, “Tuan-tuan boleh kembali ke mari besok untuk mengetahui
keputusan dari keluarga kami.”
Para utusan Sultan Muhammad pun berpamitan pulang ke
istana dan pada esok harinya mereka kembali ke rumah Kemas Mahmud.
Setelah sah menjadi permaisurinya,
Sultan Muhammad pun memboyong Putri Rahima ke istana. Sejak itulah, putri
semata wayang Kemas Mahmud itu tinggal di istana dengan gelar Nyi Mas Rahima.
Ia pun hidup berbahagia dan saling mengasihi dengan suaminya.
Sultan Muhammad kerap meninggalkan
istana karena harus bertempur melawan penjajah Belanda. Hal itu membuat
perhatian terhadap keluarganya semakin berkurang. Untung Nyi Mas Rahima seorang
ibu yang bijaksana. Ia selalu memberi pengertian kepada putranya yang sudah
mulai tumbuh menjadi kanak-kanak yang cerdas tentang perjuangan sang Ayah.
“Putraku, Adipati. Ayahmu adalah seorang pejuang. Itulah
sebabnya ia selalu pergi meninggalkan kita demi membela tanah air yang tercinta
ini,” ujar Nyi Mas Rahima.
Nasehat tersebut selalu Nyia Mas Rahima sampaikan kepada
putranya setiap kali sang Ayah pergi berperang. Maka, jadilah Pangeran Adipati
sebagai anak yang berjiwa kesatria. Ia bahkan seringkali berceloteh ingin
membantu ayahnya mengusir penjajah Belanda.
Nyi Mas Rahima terus melantunkan doa
demi keselamatan sang Suami dan pasukannya. Namun, tak jarang ia merasa cemas
menunggu kepulangan suaminya dari medan perang.
Ketika suaminya sedang meninggalkan istana, serdadu Belanda
kerap berkeliaran di sekitar istana. Ia merasa bahwa tanah airnya semakin
terancam. Di samping itu, ia juga selalu mencemaskan keselamatan suaminya yang
sudah beberapa hari belum kembali dari medan perang. Perasaan-perasaan itu
terus membebani batinnya. Di saat kandungannya semakin besar, ia menjadi lemah
dan sering sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal dunia sebelum melahirkan
anak keduanya.
Kepergian sang Bunda memberi duka yang sangat dalam bagi
Pangeran Adipati. Ditambah pula kabar tentang keberadaan sang Ayah belum juga
diketahui rimbanya. Untuk mengenang Nyi Mas Rahima yang ramah, penyayang, dan
selalu mendukung perjuangan suaminya, para keluarga istana kemudian membuatkan
makam yang dikelilingi tembok untuk Nyi Mas Rahima. Mereka pun terus menjaga
dan merawat makam itu.
Sementara itu, kehadiran serdadu Belanda membuat benteng
di sekitar istana semakin terancam. Akhirnya, keluarga istana memutuskan untuk
mengungsi ke hulu Batang Hari Jambi dengan memboyong Pangeran Adipati. Suatu
malam, mereka pun meninggalkan istana secara diam-diam. Keesokan hari, para
serdadu Belanda pun segera menempati istana yang telah kosong. Betapa
terkejutnya mereka saat melihat sebuah makam yang bersih dan indah.
“Hai, makam siapakah yang indah ini?” tanya salah seorang
serdadu Belanda.
“Entahlah. Tapi, saya yakin penghuni makam ini pasti
bukanlah orang sembarangan,” jawab serdadu Belanda lainnya.
Penasaran ingin mengetahui perihal makam itu, salah
seorang serdadu Belanda mencari keterangan kepada warga di sekitar istana.
“Makam siapakah yang ada di dekat istana itu?” tanya
serdadu itu kepada salah seorang warga.
“Makam itu adalah milik seorang putri yang ayu bernama
Nyi Mas Rahima, permaisuri Sultan Muhammad. Ayu fisiknya, juga ayu batinnya. Ia
selalu mendukung perjuangan suaminya dengan tulus ikhlas dan rela mengorbankan
kebahagiaannya berkumpul bersama keluarganya,” jelas warga itu.
Sejak itulah, para serdadu Belanda
menyebut makam itu dengan sebutan Makam Putri Ayu. Hingga kini, keindahan dan
kebersihan Makam Putri Ayu masih tetap terjaga. Makam itu dikelilingi tembok
berwarna kuning dan beratapkan seng. Batu nisannya terbuat dari kayu bulian
berwarna merah tua dan makamnya sendiri terbuat dari marmer berwarna biru.
Dulu, makam Makam Putri Ayu berada di kawasan Benteng atau berdekatan dengan
Masjid Al Falah Kota Jambi. Pada tahun 1980, makam itu dipindahkan ke Jalan
Kemboja, RT 07, Kelurahan Sungaiputri, Telanaipura, Kota Jambi.
Asal Usul Suku Melayu Timur di Kuala Tungkal
Jambi – Indonesia
Ratusan tahun silam, di Negeri
Melabang, Mindanau (kini menjadi sebuah wilayah di Filipina), berdiri sebuah
kerajaan yang diperintah oleh seorang raja bernama Sultan Iskandar Bananai.
Sang Raja memiliki dua orang putra yang bernama Patukan (sulung) dan Mata Empat
(bungsu). Kedua pangeran itu memiki tabiat yang bertolak belakang. Pangeran
Patukan adalah seorang pemuda tampan yang baik hati, berbudi luhur, dan suka
menolong. Sedangkan, Pangeran Mata Empat memiliki sifat yang sangat buruk,
kasar, tidak sopan, dan sifat-sifat yang tidak terpuji lainnya. Raja sudah
menasehati anak bungsunya itu, tapi kelakuan Pangeran Mata Empat justru semakin
menjadi-jadi. Sang Raja sangat malu dengan sifat dan kelakuan putranya itu.
Suatu hari, Sultan Iskandar Bananai memanggil seluruh
panglima dan penasehatnya untuk bermusyawarah di ruang sidang istana.
“Wahai, para panglima dan penasehat
kerajaan! Kalian pasti sudah tahu dengan sifat dan perilaku putraku, Mata
Empat. Aku mengumpulkan kalian untuk membicarakan masalah ini,” kata sang Raja,
“Terus terang, aku sudah tidak sanggup lagi mengatasi kelakuannya. Apakah
kalian mempunyai pandangan mengenai hal ini?”
Mendengar pertanyaan sang Raja, para
panglima dan penasehat kerajaan tertunduk diam. Mereka semua berpikir keras
untuk mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut. Beberapa saat kemudian,
salah seorang penasehat kerajaan angkat bicara.
“Ampun, Baginda. Izinkanlah hamba menyampaikan saran
untuk mengatasi kelakuan putra Baginda,” kata penasehat kerajaan itu.
“Apakah saranmu itu? Katakanlah!” jawab sang Raja dengan
tidak sabar.
“Ampun, Baginda. Jika hamba boleh menyarankan, alangkah
baiknya jika Pangeran Mata Empat diasingkan dari negeri ini,” ungkap penasehat
kerajaan itu.
“Apa maksudmu diasingkan?” tanya sang Raja bingung.
“Ampun Baginda jika kata-kata hamba terlalu kasar. Maksud
hamba, barangkali akan lebih baik jika Pangeran Mata Empat diperintahkan untuk
pergi merantau mencari pengalaman,” jelas penasehat itu.
Salah seorang panglima bergegas
memanggil sang Pangeran. Tidak lama kemudian, panglima itu pun kembali bersama
Pangeran Mata Empat. Saat tiba di ruang sidang, sang Pangeran terlihat
kebingungan melihat semua pembesar kerajaan sedang berkumpul menghadap
ayahandanya.
Pangeran Patukan adalah pemuda yang
penurut. Maka, ketika sang Ayah memintanya pergi merantau, ia tidak menolak.
Bahkan, ia menyambutnya dengan senang hati. Keesokan harinya, kedua pangeran
itu bersiap-siap untuk berlayar. Pangeran Patukan diberi sebuah kapal layar
yang dilengkapi perbekalan makanan serta beberapa pengawal dan dayang-dayang.
Sementara itu, Pangeran Mata Empat diberi sebuah rakit yang juga dilengkapi
dengan perbekalan, pengawal, dan dayang-dayang. Ketika keduanya hendak
berangkat, Sultan Iskandar Bananai bersama permaisuri dan segenap rakyat
berbondong-bondong menuju pelabuhan untuk melepas kepergian dua pangeran itu.
“Semoga kalian berhasil, wahai putra-putraku,” ucap sang
Raja melepas kedua putranya dengan doa.
“Terima kasih, Ayahanda! Nanda pun berharap agar Ayah dan
Ibunda tetap menjaga kesehatan,” kata Pangeran Patukan seraya mencium tangan
kedua orang tuanya.
Sementara itu, Pangeran Mata Empat sudah berada di atas
rakit tanpa menyalami ayah dan ibundanya. Bahkan, ketika rakit itu mulai
meninggalkan pelabuhan, ia berkacak pinggang, tanpa melambaikan tangan sebagai
tanda perpisahan. Rupanya, ia masih kesal dengan keputusan ayahnya yang
mengharuskan dirinya pergi meninggalkan istana. Lain halnya dengan Pangeran
Patukan, ia terus melambaikan tangan kepada orang-orang yang melepasnya di
pelabuhan hingga kapal layarnya hilang dari pandangan mata.
Kedua pangeran itu berlayar terpisah tanpa tentu arah
untuk mencari keberuntungan masing-masing. Setelah berhari-hari berlayar, kedua
putra raja itu terombang-ambing di tengah laut. Suatu ketika, rakit Pangeran
Empat Mata terhempas badai hingga hancur berkeping-keping. Seluruh penumpangnya
jatuh ke laut dan terbawa arus gelombang. Untung ia berhasil meraih salah satu
potongan rakitnya. Ia pun terapung-apung di atas potongan rakit itu hingga akhirnya
terdampar di Tanah Merah (kini dekat Palembang). Konon, Pangeran Empat Mata
menetap di daerah itu hingga akhir hayatnya.
Sementara itu, Pangeran Patukan juga mengalami nasib
sama. Kapal layarnya dihempas badai dan gelombang besar hingga hancur. Seluruh
pengawal dan dayang-dayangnya tenggelam di tengah laut. Sang Pangeran pun dapat
menyelamatkan diri hingga terdampar di Pulau Lingga. Untung nasib baik berpihak
kepadanya karena ia berhasil ditemukan oleh Raja Lingga dan kemudian dibawa ke
istana.
“Hai, anak muda siapa kamu dan dari mana asalmu?” tanya
Raja Lingga.
“Ampun, Baginda. Hamba Pangeran Patukan, putra sulung
Sultan Iskandar Bananai dari Negeri Mindanau,” jawab sang Pangeran.
Pangeran Patukan kemudian menceritakan semua peristiwa
yang dialaminya hingga terdampar di Pulau Lingga. Mendengar cerita itu, Raja
Lingga merasa amat gembira.
“Oh, kebetulan sekali, Pangeran. Sudah bertahun-tahun
kami menikah, tapi sampai sekarang Tuhan belum juga mengaruniai kami seorang
putra,” ungkap Raja Lingga, “Jika Pangeran berkenan, aku ingin mengangkat
Pangeran sebagai putraku. Setelah aku wafat kelak, engkaulah yang akan
menggantikanku sebagai raja di negeri ini.”
Mulanya, Pangeran Patukan bingung atas permintaan Raja
Lingga itu. Di negerinya, ia juga diharapkan untuk menjadi pengganti
ayahandanya sebagai raja. Namun, setelah mempertimbangkan bahwa Raja Lingga
telah menyelamatkannya, maka ia pun menerima permintaan tersebut. Sejak itulah,
Pangeran Patukan tinggal di istana dan menjadi anak angkat Raja Lingga.
Beberapa tahun kemudian, Raja Lingga wafat. Pangeran
Patukan pun dinobatkan sebagai Raja Lingga yang baru. Ia memerintah dengan adil
dan bijaksana sehingga dalam waktu singkat negeri itu menjadi makmur dan
sejahtera. Ia pun amat dicintai oleh rakyatnya.
Suatu hari, berita tentang Pangeran Patukan menjadi Raja
Lingga sampai juga ke Negeri Mindanau. Seluruh rakyat Mindanau menyambut
gembira kabar tersebut, terutama Sultan Iskandar Bananai dan permaisurinya.
Banyak di antara rakyat Mindanau yang ingin pindah ke Pulau Lingga untuk
mengabdi kepada Pangeran Patukan. Maka, dengan izin Sultan Iskandar Bananai,
penduduk Mindanau pun mulai berangsur-angsur pindah ke Negeri Lingga.
Semasa perpindahan penduduk Mindanau ke Pulau Lingga,
sebagian di antara mereka ada yang tersesat sampai ke Kuala Tungkal akibat
tidak tahu arah. Salah satunya adalah adalah Datuk Kedanding bersama
keluarganya. Konon, Datuk Kedanding inilah yang dipercaya sebagai nenek moyang
orang-orang Suku Melayu Timur yang bermukim di daerah Kuala Tungkal.
Putri Rainun dan Rajo Mudo
Jambi - Indonesia
Dahulu, di Jambi ada seorang putri
bangsawan bernama Putri Rainun. Ia adalah gadis yang cantik, anggun, dan
memiliki perangai yang baik. Kecantikan dan keelokan budinya kerap menjadi buah
bibir. Sudah banyak pemuda maupun putra bangsawan yang datang melamarnya, namun
semuanya ditolak. Rupanya, Putri Rainun telah memiliki kekasih bernama Rajo
Mudo, seorang pemuda tampan dari kalangan orang biasa. Selain tampan, pemuda
dambaan hati sang putri itu juga memiliki sifat yang baik, alim, dan berilmu.
Suatu waktu, Rajo Mudo berniat pergi merantau untuk
menambah ilmu pengetahuannya. Niat itu pun ia sampaikan kepada kekasihnya,
Putri Rainun.
“Wahai Dinda, permata hati Kanda. Kanda ingin ke negeri
seberang untuk menimba ilmu,” kata Rajo Mudo, “Jika Dinda mengizinkan, Kanda
akan berlayar dengan kapal yang akan berangkat besok pagi.”
“Iya, Kanda. Dinda merestui kepergian Kanda. Tapi, jangan
lupa cepat kembali, Dinda tidak ingin berlama-lama berpisah dengan Kanda,” ujar
Putri Rainun.
“Baiklah, Dinda. Kanda akan segera kembali. Jika kita
memang berjodoh, Tuhan pasti akan mempertemukan kita kembali,” kata Rajo Mudo.
Keesokan harinya, Rajo Mudo pun berlayar menuju ke negeri
seberang. Putri Rainun, tak kuasa menahan air mata melepas kepergian kekasih
hatinya. Putri cantik itu pun baru meninggalkan pelabuhan setelah kapal yang
ditumpangi Rajo Mudo hilang dari pandangannya.
Berita tentang kepergian Rajo Mudo pun tersebar. Tentu
saja berita tersebut membuat banyak pemuda merasa gembira karena mendapat
kesempatan untuk mendapatkan Putri Rainun. Mereka pun berlomba-lomba merayu
untuk mengambil hati sang Putri. Namun karena keteguhan sang Putri
mempertahankan cintanya kepada Rajo Mudo, semua rayuan para pemuda itu
ditampiknya.
Waktu terus berjalan. Sudah berbulan-bulan Rajo Mudo berada
di perantauan, namun tak ada kabar apapun tentang dirinya. Putri Rainun pun
mulai cemas. Hatinya selalu gelisah menanti kedatangan kekasihnya. Sebagai obat
pelipur lara, sang putri mengisi hari-harinya dengan mengayak padi.
Suatu hari, seorang pemuda melintasi rumah Putri Rainun.
Pemuda yang bernama Biji Kayo itu terpikat ketika melihat kecantikan sang
Putri. Biji Kayo adalah anak orang kaya raya, tetapi memiliki tabiat yang
buruk. Ia dikenal sebagai lelaki hidung belang yang suka mengganggu gadis-gadis.
Memang, ia amat pandai membujuk dan mengambil hati orang lain.
Keesokan harinya, Biji Kayo mendatangi rumah Putri
Rainun. Namun, ia tidak langsung menyampaikan lamarannya kepada sang Putri. Ia
tahu bahwa sang Putri sudah punya kekasih, yakni Rajo Mudo. Untuk itu, ia
mendekati ibunda Putri Rainun. Dengan bujuk rayuannya, ia pun berhasil
menghasut ibunda sang Putri.
“Baiklah, Biji Kayo. Aku akan mencoba membujuk putriku
agar mau menerima lamaranmu,” ujar ibu Putri Rainun.
Mendapat jawaban itu, Biji Kayo tersenyum lalu berpamitan
pulang ke rumahnya. Pada malam harinya, sang ibunda mulai membujuk
putrinya.
“Ketahuilah, Putriku! Pemuda yang bernama Biji Kayo itu
anak orang kaya. Ibu pikir, ia sangat cocok menjadi pendamping hidupmu daripada
Rajo Mudo,” ujar sang ibu, “Ia seorang pemuda yang serba berkecukupan,
sedangkan Rajo Mudo hanya seorang rakyat biasa yang serba kekurangan. Lagi
pula, Rajo Mudo tidak ada kabar beritanya hingga saat ini. Atau jangan-jangan,
dia telah menikah dengan gadis lain di negeri seberang sana.”
“Bu, tolong jangan banding-bandingkan Biji Kayo dengan
Rajo Mudo,” ujar Putri Rainun, “Meskipun Rajo Mudo tak memiliki harta yang
melimpah, ia pemuda yang baik hati. Saya amat mencintainya, Bu.”
Demikian seterusnya, Putri Rainun selalu menolak lamaran
Biji Kayo. Namun, ia terus dibujuk dan dirayu oleh ibunya. Demi membahagiakan
ibunya, maka terpaksalah ia menerima lamaran tersebut. Seminggu kemudian,
pernikahan mereka pun dilangsungkan dengan meriah. Di atas pelaminan, Biji Kayo
terlihat tersenyum bahagia, sementara Putri Rainun tampak sedih. Ia merasa amat
bersalah sekali karena telah mengkhianati cinta Rajo Mudo.
Usai menikah, pasangan pengantin baru itu tinggal di
sebuah rumah mewah. Namun, Putri Rainun tak mau bertegur sapa dengan Biji Kayo.
Bahkan, ia tidak mau tidur satu kamar dengan lelaki yang telah menjadi suaminya
itu.
Sementara itu, Rajo Mudo telah kembali dari perantauan.
Hatinya pun hancur berkeping-keping saat mengetahui kekasihnya telah menikah
dengan lelaki lain. Ia pun mengundang Putri Rainun untuk bertemu di suatu
tempat. Namun, hanya seorang dayang sang Putri yang datang menemuinya.
“Hai, Dayang. Mana Putri Rainun?” tanya Rajo Mudo.
“Maaf, Tuan. Tuan Putri malu bertemu dengan Tuan.
Makanya, beliau mengutus saya,” jawab dayang itu, “Kalau boleh tahu, kenapa
Tuan ingin bertemu Tuan Putri?”
Rajo Mudo menghela nafas sejenak. Ia lalu menjawab
pertanyaan itu.
“Tidak apa-apa, Dayang. Sampaikan saja salamku kepada
Putri,” jawab Rajo Mudo, “Oh iya, tolong berikan cincin ini kepada Tuan Putri.”
“Baik, Tuan,” jawab dayang itu seraya berpamitan.
Setiba di rumah tuannya, sang dayang langsung menyerahkan
cincin itu kepada Putri Rainun. Betapa sedihnya sang Putri saat menerima cincin
itu. Ia berpikir bahwa Rajo Mudo merasa kecewa karena dikhianati cintanya.
Padahal, dirinya menikah Biji Kayo karena terpaksa.
“Maafkan Dinda. Dinda tidak bermaksud mengkhianati Kanda.
Dinda melakukan ini karena terpaksa,” kata Putri Rainum dalam hati.
Merasa telah mengecewakan Rajo Mudo, Putri Rainun pun
bunuh diri. Sang ibunda menjerit histeris ketika mengetahui putrinya telah
mati. Namun, ia tampak terkejut ketika melihat ada cincin pemberian Rajo Mudo
melingkar di jari manis anaknya. Sang ibu pun sadar bahwa ternyata putrinya
menikah terpaksa dengan Biji Kayo. Ia merasa amat menyesal atas pernikahan
putrinya tersebut.
Saat upacara pemakaman Putri Rainun berlangsung, Rajo
Mudo pun hadir. Ia sangat terpukul atas kejadian yang menimpa kekasihnya. Usai
upacara pemakaman, ketika seluruh pelayat sudah meninggalkan areal makam, Rajo
Mudo masih duduk termenung di samping kuburan sang Putri. Ia merasa bahwa suatu
hari nanti kekasihnya akan hidup kembali.
Suatu hari, Rajo Mudo kembali menjenguk makam Putri
Rainun. Tiba-tiba muncul setangkai bunga ilalang dari makam sang Putri. Bunga
ilalang itu kemudian diterbangkan angin sehingga melayang-layang di udara.
“Aku yakin, bunga ilalang itu pastilah penjelmaan Putri
Rainun,” gumam Rajo Mudo.
Rajo Mudo pun segera mengejar bunga ilalang itu hendak
menangkapnya. Namun, seorang pelayan setia Putri Rainun tiba-tiba muncul dan
mendahuluinya menangkap bunga ilalang itu.
“Sebaiknya bunga ilalang ini kita bawa ke Nenek Rubiah
yang sakti itu,” ujar si dayang.
Akhirnya, Rajo Mudo dan si dayang membawa bunga ilalang
itu ke rumah Nenek Rubiah. Setiba di sana, mereka pun menceritakan semua
peristiwa yang terjadi di makam Putri Rainun. Setelah itu, Rajo Mudo meminta
kepada Nenek Rubiah agar mengubah bunga ilalang menjadi Putri Rainun.
“Nek, tolong ubah bunga ilalang ini! Aku yakin bunga ini
penjelmaan Putri Rainun,” pinta Rajo Mudo.
Nenek Rubiah pun segera memanterai bunga ilalang itu.
Sungguh ajaib, dari kelopak bunga itu ilalang itu muncullah Putri Rainun.
Alangkah senangnya hati Rajo Mudo. Ia pun langsung memeluk kekasihnya itu.
Akhinya, kedua pasangan kekasih tersebut menikah dan mereka pun hidup berbahagia
selamanya.
Dahulu kala ada seorang yang di
segani di kerajaan melayu Jambi.orang ini bernama Tan Taleni. Dulunya ia
seorang panglima perang dari negri Keling yang sekarang dikaenal dengan India.
Lama tinggal di melayu jambi.Tan Taleni menikah dengan seorang gadis dan
menetap disana. Dengan ilmu beladiri yang di milikinya, Tan Teleni menjadi
seorang jagoan yang di segani. Selang beberapa bulan sejak pernikahannya, istri
Tan Teleni menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Di panggilah ahli nujum untuk
memeriksa kehamilan itu.
“istri tuan ku
memang sedang mengandung seorang bayi laki-laki. Kelak anak ini akan tumbuh
menjadi seorang yang perkasa. Namun, saya harap tuan berhati-hati karena anak
inilah yang akan membunuh tuanku,”ramalan ahli junum pada Tan Telenisetelah
memeriksa kehamilan istrinya.
Betapa terkejut Tan Teleni mendengan ramalan ahli junum.
Walaupun itu hanyalah sebuah ramalan, tetapi ahli junum tersebut sabgatlah
terkenal dengan ramalannya yang tidak pernah meleset. Sejak saat itulah, Tan
Teleni menyiapka peti kayu yang sangat kuat. Di peti tersebut, terukir nama
anak tersebut, yaitu Bujang Jambi. Kelak,setelah bayi itu lahir, Tan Teleni
segera meletakkannya di dalam peti dan menghanyutkannya ke laut.
“Semoga anak ini terdampar di negeri yang sangat jauh
sehingga tidak akan mengetahui siapa orang tua yang sebenarnya,”piker Tan
Teleni ketika membuang bayi itu kelaut. Berhari-hari lamanya peti Bujang Jambi
terapung-apung terbawa ombak, hingga akhirnya terdampar di negri Siam yang
sekarang terkenal dengan Thailand.
Putra tersebut ditemukan oleh putra raja Siam yang saat
itu sedang memancing. Dengan diusung oleh para pengawal kerajaan, peti berisi
bayi Bujang Jambi dibawa menuju istanauntuk dilaporkan kepada Raja Siam.
Melihat bayi Bujang Jambi,Raja Siam,”ini pasti bukan anak
orang sembarangan. Dari peti yang membawanya, bias dipastikan kalau ia anak
seorang bangsawan. Aku akan mengangkat bayi ini sebagai anak angkat ku. Namun
aku mohon pada semua yang ada disini untuk merahasiakan asal-usul anak ini
hingga ia besar nanti.”
Raja Siam merawat Bujang Jambi seperti ia merawat
anaknnya sendiri. Bujang Jambi di besarkan denagn kasih sayang. Namun,betapa
pum orang berusaha menyembunyikan asal-usul Bujang Jambi, pada suatu hari akan
terbongkar juga. Hal ini berawal ketika Bujang Jambi sudah agak besar dan bisa
bermain dengan anak-anak sebayanya. Beberapa anak itu selalu mengejeknya dengan
sebuatan “anak pungut”.
Tentu saja Bujang Jambi penasaran,”;apakah benar aku anak
pungut?kalau benar siapa orang tua ku yang sebenarnya?”
Hal ini selalu mengganggu pikiran bujang jambi. Diam-diam
ia menyelidiki siapa dirinya sebenarnya. Dalam waktu yang cukup lama, akhirnya
Bujang Jambi tau kalau dirinya adalah anak Tan Teleni dari negri Melayu Jambi
yang di buang. Saying nya reputasi Tan Teleni di Negri Siam adalah orang yang
jahat. Ia menggunakan kekuatannya untuk memeras rakyat jelata dan mengumpulkan
harta sebanyak-banyaknya untuk kepentingan sendiri.
Didikan Raja Siam yang diterima Bujang Jambi selama ini
telah menjadikannya seorang kesatria perkasa, yang selalu ingin
membelakebenaran. Oleh karena itu, begitu ia medengar kabar tidakadilan di
negri Melayu Jambi, jiwa kepahlawanannya terpanggil untuk membela rakyat kecil
disana. Ia tidak perduli bahwa yang harus dilawanya adalah ayah kandungnya
sendiri.
Dengan seizin raja Siam, Bujang Jambi membawa pasukkan
perang kerajaan Siam untuk memeberantas gerombolan Tan Teleni di Melayu Jambi.
Sesampainya disana, kapal Bujang Jambi merapat di pelabuhan Muaro Jambi, ibu
kota Kerajaan Melayu Jambi. Tan Teleni yang mengetahui yang datang adalah
Bujang jambi, ia teringat pada ramalan ahli nujum belasan tahun yang lalu.
“Mungkin inilah
saatnya aku akan mati di tangan anakku sendiri,”piker Tan Teleni. Namun,
sebahgai bekas panglima perang Negri Keling, ia pantang menyerah begitu saja.
Dengan gagah berani, dihadapinya tantangan Bujang Jambi, walaupun kekuatan
pasukan keduanya tidak seimbang. Pasukan Bujang Jambi lebih banyak dengan
persenjataan yang lengkap. Dalam waktu yang tak begitu lama, pasukan Tan Teleni
bisa dengan mudah dikalahkan. Tan Teleni pun mati ditangan anaknnya sendiri,
Putri Tangguk Cerita Rakyat Dari Jambi
Alkisah, di Negeri Bunga, Kecamatan Danau Kerinci Jambi,
ada seorang perempuan bernama Putri Tangguk. Ia hidup bersama suami dan tujuh
orang anaknya. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, ia bersama suaminya
menanam padi di sawahnya yang hanya seluas tangguk. Meskipun hanya seluas
tangguk, sawah itu dapat menghasilkan padi yang sangat banyak. Setiap habis
dipanen, tanaman padi di sawahnya muncul lagi dan menguning. Dipanen lagi,
muncul lagi, dan begitu seterusnya. Berkat ketekunannya bekerja siang dan malam
menuai padi, tujuh lumbung padinya yang besar-besar sudah hampir penuh. Namun,
kesibukan itu membuatnya lupa mengerjakan pekerjaan lain. Ia terkadang lupa
mandi sehingga dakinya dapat dikerok dengan sendok. Ia juga tidak sempat
bersilaturahmi dengan tetangganya dan mengurus ketujuh orang anaknya.
Pada suatu malam, saat ketujuh anaknya sudah tidur, Putri
Tangguk berkata kepada suaminya yang sedang berbaring di atas pembaringan.
Beberapa saat kemudian, mereka pun tertidur lelap karena
kelelahan setelah bekerja hampir sehari semalam. Ketika malam semakin larut,
tiba-tiba hujan turun dengan deras. Hujan itu baru berhenti saat hari mulai
pagi. akibatnya, semua jalan yang ada di kampung maupun yang menuju ke sawah
menjadi licin.
Usai sarapan, Putri Tangguk bersama suami dan ketujuh
anaknya berangkat ke sawah untuk menuai padi dan mengangkutnya ke rumah. Dalam
perjalanan menuju ke sawah, tiba-tiba Putri Tangguk terpelesat dan terjatuh.
Suaminya yang berjalan di belakangnya segera menolongnya. Walau sudah ditolong,
Putri Tangguk tetap marah-marah.
“Jalanan kurang ajar!” hardik Putri Tangguk.
“Baiklah! Padi yang aku tuai nanti akan aku serakkan di
sini sebagai pengganti pasir agar tidak licin lagi,” tambahnya.
Setelah menuai padi yang banyak, hampir semua padi yang
mereka bawa diserakkan di jalan itu sehingga tidak licin lagi. Mereka hanya
membawa pulang sedikit padi dan memasukkannya ke dalam lumbung padi. Sesuai
dengan janjinya, Putri Tangguk tidak pernah lagi menuai padi di sawahnya yang
seluas tangguk itu. Kini, ia mengisi hari-harinya dengan menenun kain. Ia
membuat baju untuk dirinya sendiri, suami, dan untuk anak-anaknya. Akan tetapi,
kesibukannya menenun kain tersebut lagi-lagi membuatnya lupa bersilaturahmi ke
rumah tetangga dan mengurus ketujuh anaknya.
Pada suatu hari, Putri Tangguk keasyikan menenun kain
dari pagi hingga sore hari, sehingga lupa memasak nasi di dapur untuk suami dan
anak-anaknya. Putri Tangguk tetap saja asyik menenun sampai larut malam.
Ketujuh anaknya pun tertidur semua. Setelah selesai menenun, Putri Tangguk pun
ikut tidur di samping anak-anaknya.
Pada saat tengah malam, si Bungsu terbangun karena
kelaparan. Ia menangis minta makan. Untungnya Putri Tangguk dapat membujuknya
sehingga anak itu tertidur kembali. Selang beberapa waktu, anak-anaknya yang
lain pun terbangun secara bergiliran, dan ia berhasil membujuknya untuk kembali
tidur. Namun, ketika anaknya yang Sulung bangun dan minta makan, ia bukan
membujuknya, melainkan memarahinya.
Keesokan harinya, ketujuh anaknya bangun dalam keadaan
perut keroncongan. Si Bungsu menangis merengek-rengek karena sudah tidak kuat
menahan lapar. Demikian pula, keenam anaknya yang lain, semua kelaparan dan
minta makan. Putri Tangguk pun segera menyuruh suaminya mengambil padi di
lumbung untuk ditumbuk. Sang Suami pun segera menuju ke lumbung padi yang
berada di samping rumah. Alangkah terkejutnya sang Suami saat membuka salah
satu lumbung padinya, ia mendapati lumbungnya kosong.
“Hei, ke mana padi-padi itu?” gumam sang Suami.
Dengan perasaan panik, ia pun memeriksa satu per satu
lumbung padinya yang lain. Namun, setelah ia membuka semuanya, tidak sebutir
pun biji padi yang tersisa.
Sang Suami pun tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya
tercengang penuh keheranan menyaksikan peristiwa aneh itu. Dengan perasaan
sedih, Putri Tangguk dan suaminya pulang ke rumah. Kakinya terasa sangat berat
untuk melangkah. Selama dalam perjalanan, Putri Tangguk mencoba merenungi sikap
dan perbuatannya selama ini. Sebelum sampai di rumah, teringatlah ia pada sikap
dan perlakuannya terhadap padi dengan menganggapnya hanya seperti pasir dan
menyerakkannya di jalan yang becek agar tidak licin.
“Ya... Tuhan! Itukah kesalahanku sehingga kutukan ini
datang kepada kami?” keluh Putri Tangguk dalam hati.
Sesampainnya di rumah, Putri Tangguk tidak dapat berbuat
apa-apa. Seluruh badannya terasa lemas. Hampir seharian ia hanya duduk
termenung. Pada malam harinya, ia bermimpi didatangi oleh seorang lelaki tua
berjenggot panjang mengenakan pakaian berwarna putih.
“Wahai Putri Tangguk! Aku tahu kamu mempunyai sawah
seluas tangguk, tetapi hasilnya mampu mengisi dasar Danau Kerinci sampai ke
langit. Tetapi sayang, Putri Tangguk! Kamu orang yang sombong dan takabbur.
Kamu pernah meremehkan padi-padi itu dengan menyerakkannya seperti pasir
sebagai pelapis jalan licin. Ketahuilah, wahai Putri Tangguk...! Di antara
padi-padi yang pernah kamu serakkan itu ada setangkai padi hitam. Dia adalah
raja kami. Jika hanya kami yang kamu perlakukan seperti itu, tidak akan menjadi
masalah. Tetapi, karena raja kami juga kamu perlakukan seperti itu, maka kami
semua marah. Kami tidak akan datang lagi dan tumbuh di sawahmu. Masa depan kamu
dan keluargamu akan sengsara. Rezekimu hanya akan seperti rezeki ayam. Hasil
kerja sehari, cukup untuk dimakan sehari. Kamu dan keluargamu tidak akan bisa
makan jika tidak bekerja dulu. Hidupmu benar-benar akan seperti ayam, mengais dulu
baru makan....” ujar lelaki tua itu dalam mimpi Putri Tangguk.
Putri Tangguk belum sempat berkata apa-apa, orang tua itu
sudah menghilang. Ia terbangun dari tidurnya saat hari mulai siang. Ia sangat
sedih merenungi semua ucapan orang tua yang datang dalam mimpinya semalam. Ia
akan menjalani hidup bersama keluarganya dengan kesengsaraan. Ia sangat
menyesali semua perbuatannya yang sombong dan takabbur dengan menyerakkan padi
untuk pelapis jalan licin. Namun, apalah arti sebuah penyesalan. Menyesal kemudian
tiadalah guna.
Rasanya banyak masyarakat Kota Jambi yang belum tahu
bahwa kota ini memiliki cerita legenda mirip Tangkuban Perahu di Jawa Barat.
Legenda Cik Upik namanya. Cerita yang dianggap dongeng itu begitu lekat bagi
masyarakat Kampung Danau Sipin, Kecamatan Telanaipura.
Tak hanya sekedar cerita atau dongeng. Bagi masyarakat
Danau Sipin, kisah Cik Upik itu punya bukti. Mereka menunjuk daerah pinggiran
danau, tepatnya di belakang Kantor Gubernur Jambi, atau persisnya di dekat
bekas Restoran Batanghari, merupakan bekas taman bermain Cik Upik. Di sana pula
Cik Upik kerap mandi setiap pagi dan sore.
Lantas, siapa Cik Upik itu ? Tidak ada referensi tertulis
mengenai legenda ini. Ceritanya hanya tersiar dari mulut ke mulut. Namun
menurut kisah seorang tetua Kampung Danau Sipin, Marzuki (81), Cik Upik adalah
seorang wanita cantik asal Padang, Sumatera Barat (Sumbar) yang terdampar di
daerah Danau Sipin.
Cik Upik tidak sengaja datang ke daerah itu. Konon, dia
menumpang sebuah kapal yang berlayar dari Padang. Setibanya di Sungai
Batanghari, tepatnya di kawasan Danau Sipin sekarang, kapal itu terbalik. Bekas
badan kapal yang ukurannya sangat besar itu pulalah yang dipercaya masyarakat
menjadi daratan Danau Sipin yang sekarang mereka diami.
Sejak saat itu, Cik Upik tinggal di Danau Sipin. Dia
sering bermain di taman. Masyarakat Danau Sipin yakin, sisa-sisa taman itu
masih ada hingga sekarang. Namun, lokasi bekas taman tersebut kini sudah
ditumbuhi pohon-pohon besar dan semak-belukar, meskipun keindahannya
samar-samar masih terlihat.
Menurut Marzuki yang mendapat cerita dari ayah dan
kakeknya, dulu tepian Sungai Batanghari sebenarnya sampai ke daerah belakang
kantor gubernur. Tapi sungai itu kemudian terbelah, karena bekas kapal Cik Upik
yang terbalik lama-kelamaan mengering dan membentuk sebuah daratan.
“Awalnya para awak kapal Cik Upik yang terdampar membuat
tempat tinggal dan taman di dekat kapal mereka terbalik. Taman dibuat untuk
tempat mereka bersantai,” kisah Marzuki yang ditemui InfoJambi, di rumahnya, di
Kampung Danau Sipin, persis di seberang Taman Cik Upik.
Dari cerita turun-menurun, dulunya Taman Cik Upik dikenal
sebagai sebuah taman yang sejuk, sehingga ramai didatangi orang untuk
bersantai. Taman itu memiliki panjang 45 meter dengan lebar 10 meter. Di tengah
taman terdapat sebuah danau kecil yang diberi nama Danau Cik Upik.
Danau Cik Upik memiliki luas sekitar 15 meter x 5 m
dengan kedalaman air sekitar empat meter. Air danau itu sangat jernih dan
sering digunakan masyarakat zaman dahulu sebagai tempat mandi dan sumber air
minum. Bahkan, ada juga yang menjadikan danau kecil itu sebagai tempat
memancing ikan.
Tetua Kampung Danau Sipin lainnya, Ibrahim (75),
mengungkapkan, Danau Cik Upik merupakan anak dari Danau Sipin. Danau besar yang
terbentuk karena kapal yang terbalik tersebut, dulu dikenal dengan nama Danau
Pinago. Namun begitu, Ibrahim mengakui sampai sekarang tidak tahu kapan
sebenarnya danau-danau itu mulai ada.
Seiring berjalannya waktu, Taman Cik Upik yang jaraknya
hanya beberapa meter dari buntut Kantor Gubernur Jambi itu mulai terlupakan.
Tidak ada sedikitpun perhatian pemerintah kota terhadap kawasan itu. Taman Cik
Upik nyaris hilang tak berbekas. Berpuluh tahun lamanya taman itu hanya
dijadikan dermaga oleh penambang perahu.
Ketika Abdurrahman Sayoeti menjadi Gubernur Jambi, dia
sempat mengingat kembali keberadaan taman itu. Dia pun ingin menghidupkannya
kembali dan menjadikan objek wisata. Gubernur dua periode itu pula yang membuka
lagi kawasan tersebut dengan membangun jalan dan mendirikan restoran besar.
Sayangnya, belum sempat Taman Cik Upik dikenal lagi oleh
masyarakat Kota Jambi, masa jabatan Abdurrahman Sayoeti keburu berakhir.
Alhasil, legenda Taman Cik Upik kembali tenggelam bersama kisah kapalnya yang
terbalik di Sungai Batanghari.
Cerita rakyat jambi orang kayo hitam
Rangkayo Hitam merupakan seorang
Raja Melayu Jambi yang sangat pemberani dan sakti, saat pemerintahan kerajaan
dibawah kepemimpinan kakaknya Rangkayo Pingai, Rangkayo Hitam pernah mencegat
upeti yang dikirimkan kakaknya kepada kerajaan Mataram yang waktu itu Kerajaan
Melayu Jambi merupakan daerah jajahan kerajaan Mataram. Upeti itu berhasil
digagalkan oleh Rangkayo Hitam, karena beliau berpendapat bahwa Kerajaan Melayu
Jambi merupakan Kerajaan yang berdaulat dan tidak tunduk kepada Kerajaan
manapun..
Mendengar adanya gejolak di Kerajaan Melayu Jambi yang
tidak mau mengirimkan upeti ke Kerajaan Mataram dan tentang adanya seorang
sakti bernama Rangkayo Hitam yang menggegalkan Upeti tersebut, maka Raja
Mataram merencanakan akan melakukan penyerangan ke kerajaan Melayu yang disebut
serangan Pamalayu dan segera memerintahkan seorang empu untuk membuat sebuah
keris sakti yang akan digunakan untuk membunuh Rangkayo Hitam.
Mendengar hal tersebut, Rangkayo Hitam berangkat menuju
Kerajaan Mataram untuk menggagalkan rencana tersebut. Di daerah mataram
Rangkayo Hitam bertemu dengan seorang empu yang sedang membuat keris. Rangkayo
Hitam bertanya kepada empu untuk siapa keris tersebut, empu itupun menjelaskan
bahwa keris tersebut untuk Raja Mataram yang katanya akan digunakan untuk membunuh
seorang sakti di Kerajaan Melayu Jambi yang bernama Rangkayo Hitam, saat itu
empu juga menjelaskan bahwa keris tersebut dibuat dari tujuh macam besi yang
diawali oleh huruf P, dan akan sempurna bila telah dimandikan di tujuh muara.
Rangkayo Hitam pun saat itu juga merebut keris tersebut
dari tangan sang empu, dan mengatakan bahwa dialah Rangkayo Hitam. Empu itupun
akhirnya tewas di tangan Rangkayo Hitam. Setelah mendapatkan keris, Rangkayo
Hitam segera kembali ke Kerajaan Melayu untuk menyiapkan segala sesuatu jika
nanti kerajaan Mataram jadi menyerang dan segera ia menyempurnakan keris
tersebut di tujuh muara.. Hingga keris tersebut menjadi senjata sakti bagi
Rangkayo Hitam.
Rangkayo Hitam sering meletakkan keris tersebut di
sanggul rambutnya sehingga orang-orang sering menyebutnya dengan sebutan
“Ginjai” yang berarti tusuk konde. Sampai akhirnya keris tersebut diberi nama
Keris SIGINJAI.
Struktur Keris Siginjai
1. Bilah Keris (Wilahan)
Bilah keris, yang dalam istilah perkerisan disebut
wilahan, adalah bagian utama dari keris. Walaupun wilahan mempunyai bentuk yang
beraneka ragam, namun dapat dikelompokkan menjadi dua tipe (dapur), yaitu tipe
lurus (dapur leres) dan berkelok (dapur luk). Pada wilahan terdapat gambar atau
lukisan yang disebut pamor yang merupakan lambang kesaktian atau kekeramatan
keris. Sedangkan, pada pangkal wilahan terdapat ganja, yaitu sudut runcing yang
mengarah ke arah mata keris.
Bilah Keris Siginjai panjangnya lebih kurang 39
sentimeter dan berlekuk (luk) 5. Permukaan bilah Keris Siginjai kemungkinan
pada mulanya ditutupi lapisan emas murni karena pada saat ini masih terlihat
adanya bekas lapisan emas yang terlepas. Lapisan emas itu berfungsi untuk
memperindah keris dan yang lebih utama untuk menutupi pamor pada keris yang
bermotif flora. Pamor keris ini semakin ke ujung semakin kabur. Pada lekuk
pertama hingga keempat pamor itu tampak jelas, namun pada lekuk kelima sampai
ke mata keris, pamornya sudah tidak jelas lagi.
Keris Siginjai memiliki dua buah buah ganja, yang salah
satunya melengkung ke arah mata keris. Sedangkan, pada sisi terlebar pangkal
bilah keris terdapat bentukan yang menjorok ke luar dan memiliki 6 buah
tonjolan yang ujungnya runcing, mirip dengan senjata penjepit pada binatang
kalajengking. Tonjolan yang terbesar disebut belalai gajah atau keluk kacang.
2. Hulu Keris
Hulu (gagang) Keris Siginjei terbuat dari kayu kemuning
yang bagian kepalanya dibuat menjorok ke arah permukaan badan keris. Sedangkan,
pada bagian yang dekat dengan wilahan terdapat mendak1 yang berbentuk kelopak
bunga teratai. Di atas mendak terdapat 16 buah garis lengkung yang di setiap
lengkungannya dipasang sebuah batu mulia, yang terdiri dari 8 buah intan
berbentuk segi tiga dan 8 buah berlian berbentuk lonjong (oval). Di bawah
setiap intan dan berlian terdapat bidang lengkung yang semakin menyempit ke
arah bilah keris. Pada permukaan bidang lengkung tersebut dilapisi dengan emas
murni dan diukir hiasan bunga-bunga kecil. Dan, di atas garis lengkung itu
terdapat jalinan berbentuk benang-benang email warna hijau dan kuning.
3. Sarung Keris (Wrangka)
Wrangka keris Siginjai terbuat dari
kayu kemuning. Sedangkan, pendok2 keris terbuat dari lempengan emas murni yang
seluruh permukaannya dihiasi dengan ukiran bermotif flora. Pada wrangka Keris
Siginjai ini juga terdapat gayaman berbentuk perahu agak kecil tetapi tebal. Di
dekat gambar perahu terdapat lengkungan yang berbentuk sedikit bundar.
Legenda Harimau Makan Durian (Cerita Rakyat Jambi)
Cerita rakyat ini merupakan cerita
rakyat yang berasal dari Provinsi Jambi.Di Provinsi jambi ini terkenal dengan
hasil bumi durian adalah salah satunya. Di desa di Provinsi jambi, biasanya
musim durian tiba satu atau dua tahun sekali dengan hasil yang berlimpah.
Dahulu kala sewaktu di Provinsi Jambi masih terdiri dari
raja – raja atau kerajaan. Di sana Rakyat hidup berdampingan dengan
kesejahteraan dan kedamaian berkat pemimpin yang bijaksana. Namun, di tengah
kemakmuran itu tiba – tiba ada seekor harimau besar yang menghilangkan
kedamaian di negeri tersebut. Harimau tersebut terus menerus menghabisi ternak
masyarakat di sekitar sana, dan lama kelamaan juga menyerang warga di daerah
sana.
Melihat hal ini, Raja tidak tinggal diam, dia menyuruh
seorang abdinya yang sakti untuk mengatasi masalah ini. Setelah itu abdi raja
pun mencari sang harimau dan dengan segala kemampuan yang dia punya
dikerahkannya. Tetapi apa daya abdi Raja tersebut, bukan melukai harimau
tersebut tetapi dy yang terluka parah.
Dengan kondisinya yang terluka parah, abdi Raja ini
melarikan diri dari Sang harimau untuk menyembuhkan dirinya terlebih dahulu.
Tetapi Sang harimau terus mengejar dia, di tengah pengejaran harimau tersebut.
Sampailah mereka di sebuah desa yang bernama Desa Kemingking, yang di sana
sekarang ini yang dipenuhi aroma manis dan tanahnya dipenuhi buah yang penuh
duri. Karena kelelahan untuk melarikan diri akhirnya dia bertekad untuk melawan
Sang harimau dengan segala kemampuan yang dia punyai, walaupun itu harus
mengorbankan nyawanya. Pertarungan sengit terjadi antara keduanya. Hingga
kemudian sang prajurit menyadari kehadiran buah yang permukaannya dipenuhi duri
itu. Ia kemudian menggunakan buah yang di masa kini dikenal dengan nama Durian
sebagai senjatanya. Dia terus melempari Sang harimau tersebut dengan durian
hingga harimau itu terluka parah, dan di tengah pertempuran itu Sang harimau
minta ampun karena dia menyadari bahwa ia telah kalah.
Ia pun berjanji kepada abdi raja tersebut untuk tidak
menganggu warga asalkan ia diperbolehkan untuk memakan sebagian dari buah
durian atau buah yang penuh duri yang tumbuh di tanah mereka. Karena melihat
kesungguhan sang harimau dengan iba, maka Ia pun melepaskan Sang harimau untuk
terus hidup tetapi dengan syaratnya tersebut.
Setelah itu, Abdi Raja tersebut kembali ke kerajaannya
dengan membawa kemenangan atas Sang harimau. Segala hal yang terjadi dilaporkan
kepada Sang Raja dan dengan perantaraan Sang Raja Ia mengumumkan sumpah
Sang Harimau untuk dipatuhi dan dihormati kepada seluruh masyarakat. Sampai
saat ini, masyarakat desa Kemingking terus menjaga sumpah Sang harimau.
Sehingga meskipun hutan desa Kemingking Dalam termasuk dalam wilayah kekuasaan
harimau, harimau-harimau ini tidak pernah menampakkan diri ataupun menyerang
warga. Mereka hanya muncul di waktu malam ketika musim durian hampir usai untuk
melahap buah-buah terakhir yang telah diperjanjikan untuknya.
Asal Mula Nama Sungai Batanghari Jambi
Sungai Batanghari
Jambi ~ Sungai terpanjang di Pulau Sumatera adalah Batang Hari. Kata batang
artinya sungai. Namun, orang sudah biasa mengatakan Sungai Batang Hari. Bagian
terpanjang Sungai Batang Hari dan muaranya memang terletak di Provinsi Jambi,
sebagian kecil bagian hulunya di Provinsi Sumatera Barat.
Pada zaman dahulu, ketika penduduk Negeri Jambi sudah
mulai banyak dan mereka memerlukan seorang raja yang bisa memimpin mereka,
menyatukan negeri-negeri kecil supaya menjadi satu negeri yang besar, mereka
mengadakan sayembara. Barang siapa yang ingin menjadi Raja Negeri Jambi, harus
sanggup menjalani ujian, yaitu dibakar dengan api yang menyala berkobar-kobar,
direndam dalam sungai selama tiga hari, dan digiling dengan kilang besi yang
besar. Penduduk setempat tidak ada yang sanggup menjalani ujian it. Tokoh-tokoh
terkemuka dari desa Tujuh Kuto, Sembilan Kuto, Batin Duo Belas, semuanya
menyerah pada ujian keempat, yaitu digiling dengan kilang besi.
Tokoh-tokoh masyarakat Negeri Jambi pada waktu itu lalu
berespakat untuk mencari orang dari luar Negeri Jambi, yang sanggup menjadi
Raja Negeri Jambi melalui ujian yang telah mereka tentukan itu. Perjalanan
mencari orang luar Negeri Jambi tidak mudah karena zaman dulu orang harus
menempuh jalan setapak, menerobod hutan, menyusuri sungai, menghadapi perampok
atau binatang buas. Akhirnya, mereka sampai ke sebuah negeri asing, yaitu India
bagian selatan, yang penduduknya kebanyakan hitam-hitam. Mereka lalu
menyebutnya Negeri Keling (India). Mereka berjalan mengitari negeri yang besar dan
sudah lebih maju itu berhari-hari lamanya, guna mencari orang yang sanggup
menjadi raja di Negeri Jambi.
Berkat ketekunan mereka, tidak kenal putus asa, di Negeri
Keling itu mereka temukan juga satu orang yang menyatakan kesanggupannya
menjadi raja di Negeri Jambi. orang itu sanggup menjalani berbagai ujian dan
akan memerintah Negeri Jambi dengan bijaksana, serta berjanji akan membuat
rakyat Negeri Jambi aman, makmur, dan sejahtera.
Dengan gembira, calon raja itu pun dibawa pulang ke
Negeri Jambi dengan dendang mereka. Perjalanan panjang melewati samudera luas
kembali ke Negeri Jambi memakan waktu yang lama. Terkadang cemas menghadapi
angin topan gelombang setinggi bukit, hujan deras bercampur petir, siang
ataupun malam hari. Terkadang pula, berlayar dengan cuaca cerah, angin tenang
mendorong dendang mereka dengan laju, atau di waktu malam terang bulan.
Selama perjalanan itu, mereka juga banyak
berbincang-bincang dengan calon raja mereka. Dari pembicaraan itu, tahulah
mereka bahwa calon raja itu memang orang yang pintar. Dia mengenal ilmu
perbintangan. Terkadang muncul keinginan dari orang-orang Negeri Jambi itu
untuk menguji calon raja mereka, dengan banyak pertanyaan. Mereka takut, kalau
ada pertanyaan yang sulit calon raja itu akan tersinggung dan membatalkan
niatnya menjadi Raja Negeri Jambi.
Deburan ombak, hembusan angin, gelapnya malam atau
benderangnya cahaya bulan, teriknya matahari atau gelapnya awan hitam, sudah
silih berganti. Perjalanan mereka menuju negeri asal, yaitu Negeri Jambi, belum
juga sampai. Mereka juga singgah di Malaka (Malaysia) untuk membeli perbekalan,
singgah di Negeri Aceh untuk beristirahat atau menambah persediaan air tawar.
Dengan demikian, perjalanan mereka menjadi makin panjang dan makin lam sampai
di Negeri Jambi.
Pada suatu hari, rupanya dendang mereka sudah dekat
Negeri Jambi. Mereka sudah memasuki muara sungai yang besar sekali, tempat
mereka dulu memulai perjalanan mencari calon Raja Jambi. walaupun sungai besar
itu sudah mereka kenal, sudah mereka layari dengan dendang, sudah mereka minum
airnya, mereka belum mengetahui apa nama sungai besar itu. Apakah calon raja
dari Negeri Keling itu mengetahui nama sungai itu atau tidak. Mereka ragu-ragu
bertanya pada calon raja dari Negeri Keling itu. Apalagi saat itu mereka rasa kurang
sopan bertanya karena hari sudah petang dan pemandangan menjadi remang-remang.
Seorang dari mereka, orang Batin Duo Belas, memberanikan
diri juga ketika sudah disepakati oleh yang lain, mengajukan pertanyaan kepada
calon raja dari Negeri Keling itu.
“Tuanku calon raja kami. Elok kiranya tuanku jika dapat
menjawab sebuah pertanyaan kami.”
“Tanyalah mengenai apa saja.”
“Muara sungai besar yang sedang kita layari ini, apa
gerangan namanya Tuan?”
“Haa... Inilah yang bernama muara Kepetangan Hari.”
Ternyata calon raja itu menjawab cepat, padahal sungai
itu belum pernah dikenalnya.
Para tokoh masyarakat pencari calon raja itu gembira
sekali dan makin kuat tenaganya mendayungkan kayu pengayuhnya menyusuri sungai
itu, menyongsong (melawan) arus menuju desa Mukomuko.
Sesampai mereka di Mukomuko, mereka menyebarluaskan
kepada setiap orang yang mereka temui. Mereka mengatakan bahwa nama sungai
besar di Negeri Jambi itu bernama Kepetangan Hari. Setelah bertahun-tahun
lamanya, kemudian berangsur terjadi perubahan menjadi Sungai Petang Hari, dan
akhirnya menjadi Batang Hari.
Cerita Rakyat Jambi - Si Kelingking
Si Kelingking adalah seorang pemuda
miskin yang tinggal di sebuah kampung di daerah Jambi, Indonesia. Ia dipanggil
Kelingking karena ukuran tubuhnya hanya sebesar jari kelingking. Walaupun
demikian, ia mempunyai istri seorang putri raja yang cantik jelita. Bagaimana
si Kelingking dapat mempersunting seorang putri raja? Kisahnya dapat Anda ikuti
dalam cerita Si Kelingking berikut ini.
* * *
Alkisah, di sebuah dusun di Negeri
Jambi, ada sepasang suami-istri yang miskin. Mereka sudah puluhan tahun membina
rumah tangga, namun belum dikaruniai anak. Segala usaha telah mereka lakukan
untuk mewujudkan keinginan mereka, namun belum juga membuahkan hasil. Sepasang
suami-istri itu benar-benar dilanda keputusasaan. Suatu ketika, dalam keadaan
putus asa mereka berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
“Ya Tuhan Yang Maha Tahu segala yang ada di dalam hati
manusia. Telah lama kami menikah, tetapi belum juga mendapatkan seorang anak.
Karuniankanlah kepada kami seorang anak! Walaupun hanya sebesar kelingking,
kami akan rela menerimanya,” pinta sepasang suami-istri itu.
Beberapa bulan kemudian, sang Istri mengandung. Mulanya
sang Suami tidak percaya akan hal itu, karena tidak ada tanda-tanda kehamilan
pada istrinya. Di samping karena umur istrinya sudah tua, perut istrinya pun
tidak terlihat ada perubahan. Meski demikian, sebagai seorang wanita, sang
Istri benar-benar yakin jika dirinya sedang hamil. Ia merasakan ada sesuatu
yang bergerak-gerak di dalam perutnya. Ia pun berusaha meyakinkan suaminya
dengan mengingatkan kembali pada doa yang telah diucapkan dulu.
“Apakah Abang lupa pada doa Abang dulu. Bukankah Abang
pernah memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar diberikan seorang anak walaupun
sebesar kelingking?” tanya sang Istri mengingatkan.
Mendengar pertanyaan itu, sang Suami pun termenung dan
mengingat-ingat kembali doa yang pernah dia ucapkan dulu.
“O iya, kamu benar, istriku! Sekarang Abang percaya bahwa
kamu memang benar-benar hamil. Pantas saja perutmu tidak kelihatan membesar,
karena bayi di dalam rahimmu hanya sebesar kelingking,” kata sang Suami sambil
mengelus-elus perut istrinya.
Waktu terus berjalan. Tak terasa usia kandungan istrinya
telah genap sembilan bulan. Pada suatu malam, sang Istri benar-benar melahirkan
seorang bayi laki-laki sebesar kelingking. Betapa bahagianya sepasang
suami-istri itu, karena telah memperoleh seorang anak yang sudah lama mereka
idam-idamkan. Mereka pun memberinya nama Kelingking. Mereka mengasuhnya dengan
penuh kasih sayang hingga menjadi dewasa. Hanya saja, tubuhnya masih sebesar
kelingking.
Pada suatu hari, Negeri Jambi didatangi Nenek Gergasi. Ia
adalah hantu pemakan manusia dan apa saja yang hidup. Kedatangan Nenek Gergasi
itu membuat penduduk Negeri Jambi menjadi resah, termasuk keluarga Kelingking.
Tak seorang pun warga yang berani pergi ke ladang mencari nafkah. Melihat
keadaan itu, Raja Negeri Jambi pun segera memerintahkan seluruh warganya untuk
mengungsi.
“Anakku! Ayo bersiap-siaplah! Kita harus pindah dari
tempat ini untuk mencari tempat lain yang lebih aman,” ajak ayah Kelingking.
Mendengar ajakan ayahnya itu, Kelingking terdiam dan
termenung sejenak. Ia berpikir mencari cara untuk mengusir Nenek Gergasi itu.
Setelah menemukan caranya, Kelingking pun berkata kepada ayahnya, “Tidak, Ayah!
Aku tidak mau pergi mengungsi.”
“Apakah kamu tidak takut ditelan oleh Nenek Gergasi itu?”
tanya ayahnya.
“Ayah dan Emak jangan khawatir. Aku akan mengusir Nenek
Gergasi itu dari negeri ini,” jawab si Kelingking.
“Bagaimana cara kamu mengusirnya, sedangkan tubuhmu kecil
begitu?” tanya emaknya.
“Justru karena itulah, aku bisa mengusirnya,” jawab si
Kelingking.
“Apa maksudmu, Anakku?” tanya emaknya bingung.
“Begini Ayah, Emak. Tubuhku ini hanya sebesar kelingking.
Jadi, aku mudah bersembunyi dan tidak akan terlihat oleh hantu itu. Aku mohon
kepada Ayah agar membuatkan aku lubang untuk tempat bersembunyi. Dari dalam
lubang itu, aku akan menakut-nakuti hantu itu. Jika hantu itu telah mati, akan
aku beritakan kepada Ayah dan Emak serta semua penduduk,” kata Kelingking.
Sang Ayah pun memenuhi permintaan Kelingking. Ia membuat
sebuah lubang kecil di dekat tiang rumah paling depan. Setelah itu, ayah dan
emak Kelingking pun berangkat mengungsi bersama warga lainnya. Maka tinggallah
sendiri si Kelingking di dusun itu. Ia pun segera masuk ke dalam lubang untuk
bersembunyi.
Ketika hari menjelang sore, Nenek Gergasi pun datang
hendak memakan manusia. Alangkah marahnya ketika ia melihat kampung itu sangat
sepi. Rumah-rumah penduduk tampak kosong. Begitu pula dengan kandang-kandang
ternak.
“Hai, manusia, kambing, kerbau, dan ayam, di mana kalian?
Aku datang ingin menelan kalian semua. Aku sudah lapar!” seru Nenek Gergasi
dengan geram.
Kelingking yang mendengar teriakan itu pun menyahut dari
dalam lubang.
“Aku di sini, Nenek Tua.”
Nenek Gergasi sangat heran mendengar suara manusia, tapi
tidak kelihatan manusianya. Ia pun mencoba berteriak memanggil manusia. Betapa
terkejutnya ia ketika teriakannya dijawab oleh sebuah suara yang lebih keras
lagi. Hantu itu pun mulai ketakutan. Ia mengira ada manusia yang sangat sakti
di kampung itu. Beberapa saat kemudian, si Kelingking menggertaknya dari dalam
lubang persembunyiannya.
“Kemarilah Nenek Geragasi. Aku juga lapar. Dagingmu pasti
enak dan lezat!”
Mendengar suara gertakan itu, Nenek Gergasi langsung lari
tungganglanggang dan terjerumus ke dalam jurang dan mati seketika. Si
Kelingking pun segera keluar dari dalam lubang tempat persembunyiannya. Dengan
perasaan lega, ia pun segera menyampaikan berita gembira itu kepada kedua
orangtuanya dan para warga, kemudian mengajak mereka kembali ke perkampungan
untuk melaksanakan keseharian seperti biasanya. Mereka pun sangat kagum pada
kesaktian Kelingking.
Berita tentang keberhasilan Kelingking mengusir Nenek
Gergasi itu sampai ke telinga Raja. Kelingking pun dipanggil untuk segera
menghadap sang Raja. Kelingking ditemani oleh ayah dan emaknya.
“Hai, Kelingking! Benarkah kamu yang telah mengusir Nenek
Gergasi itu?” tanya sang Raja.
“Benar, Tuanku! Untuk apa hamba berbohong,” jawab si
Kelingking sambil memberi hormat.
“Baiklah, Kelingking. Aku percaya pada omonganmu. Tapi,
ingat! Jika hantu pemakan manusia itu datang lagi, maka tahu sendiri akibatnya.
Kamu akan kujadikan makanan tikus putih peliharaan putriku,” acam sang Raja.
“Ampun, Tuanku! Jika hamba terbukti berbohong, hamba siap
menerima hukuman itu. Tapi, kalau hamba terbukti tidak berbohong, Tuanku
berkenan mengangkat hamba menjadi Panglima di istana ini,” pinta Kelingking.
Walaupun permintaan Kelingking itu sangatlah berat, sang
Raja menyanggupinya dengan pertimbangan bahwa mengusir hantu Nenek Gergasi
tidaklah mudah.
Setelah itu, Kelingking bersama kedua orangtuanya memohon
diri untuk kembali ke rumahnya. Dalam perjalanan pulang, ayah dan emaknya
selalui dihantui rasa cemas dan takut kalau-kalau Nenek Gergasi kembali lagi.
Hal itu berarti nyawa anaknya akan terancam. Sesampainya di rumah, mereka pun
meminta kepada Kelingking agar menceritakan bagaimana ia berhasil mengusir
hantu itu. Kelingking pun menceritakan semua peristiwa itu dari awal kedatangan
hantu itu hingga lari tungganglanggang.
“Apakah kamu yakin Nenek Gergasi tidak akan kembali lagi
ke sini?” tanya ayahnya.
Mendengar pertanyaan itu, Kelingking terdiam. Hatinya
tiba-tiba dihinggapi rasa ragu. Jangan-jangan hantu itu kembali lagi. Rupanya,
si Kelingking tidak mengetahui bahwa Nenek Gergasi itu telah mati karena
terjerumus ke dalam jurang.
Seminggu telah berlalu, Nenek Gergasi tidak pernah muncul
lagi. Namun, hal itu belum membuat hati Kelingking tenang. Suatu hari, ketika
pulang dari ladang bersama ayahnya, ia menemukan mayat Nenek Gergasi di jurang.
Maka yakinlah ia bahwa Nenek Gergasi telah mati dan tidak akan lagi mengganggu
penduduk Negeri Jambi.
Keesokan harinya, Kelingking bersama kedua orangtuanya
segera menghadap raja untuk membuktikan bahwa ia benar-benar tidak berbohong.
Dengan kesaksian kedua orangtuanya, sang Raja pun percaya dan memenuhi
janjinya, yakni mengangkat Kelingking menjadi Panglima.
Setelah beberapa bulan menjadi Panglima, Kelingking
merasa perlu seorang pendamping hidup. Ia pun menyampaikan keinginannya itu
kepada kedua orangtuanya.
“Ayah, Emak! Kini aku sudah dewasa. Aku menginginkan
seorang istri. Maukah Ayah dan Emak pergi melamar putri Raja yang cantik itu
untukku?” pinta Kelingking.
Alangkah terkejutnya kedua orangtuanya mendengar
permintaan Kelingking itu.
“Ah, kamu ini ada-ada saja Kelingking! Tidak mungkin
Baginda Raja mau menerima lamaranmu. Awak kecil, selera gedang (besar),”
sindir ayahnya.
“Tapi, kita belum mencobanya, Ayah! Siapa tahu sang Putri
mau menerima lamaranku,” kata Kelingking.
Mulanya kedua orangtuanya enggan memenuhi permintaan
Kelingking. Tapi, setelah didesak, akhirnya mereka pun terpaksa menghadap dan
siap menerima caci maki dari Raja. Ternyata benar, ketika menghadap, mereka mendapat
cacian dari Raja.
“Dasar anakmu si Kelingking itu tidak tahu diuntung!
Dikasih sejengkal, minta sedepa. Sudah diangkat menjadi Panglima, minta nikah
pula!” bentak sang Raja.
Mendengar bentakan itu, kedua orangtua Kelingking tidak
bisa berbuat apa-apa. Mereka pun pulang tanpa membawa hasil. Mendengar berita
itu, Kelingking tidak berputus asa. Ia meminta agar mereka kembali lagi
menghadap Raja, namun hasilnya pun tetap nihil. Akhirnya, Kelingking memutuskan
pergi menghadap bersama ibunya. Sesampainya di istana, mereka tetap disambut
oleh keluarga istana. Sang Putri pun hadir dalam pertemuan itu. Kelingking
menyampaikan langsung lamarannya kepada Raja.
“Ampun, Tuanku! Izinkanlah hamba menikahi putri Tuanku,”
pinta Kelingking kepada sang Raja.
Mengetahui bahwa ayahandanya pasti akan marah kepada
Kelingking, sang Putri pun mendahului ayahnya berbicara.
“Ampun, Ayahanda! Perkenankanlah Ananda menerima lamaran
si Kelingking. Ananda bersedia menerima Kelingking apa adanya,” sahut sang
Putri.
“Nanti engkau menyesal, Putriku. Masih banyak pemuda
sempurna dan gagah di negeri ini. Apa yang kamu harapkan dari pemuda sekecil
Kelingking itu,” ujar sang Raja.
“Ampun, Ayahanda! Memang banyak pemuda gagah di negeri
ini, tapi apa jasanya kepada kerajaan? Sementara si Kelingking, meskipun
tubuhnya kecil, tapi ia telah berjasa mengusir dan membunuh hantu Nenek
Gergasi,” tandas sang Putri.
Mendengar pernyataan putrinya, sang Raja tidak berkutik.
Ia baru menyadari bahwa ternyata si Kelingking telah berjasa kepada kerajaan
dan seluruh penduduk di negeri itu. Akhirnya, sang Raja pun menerima lamaran si
Kelingking.
Seminggu kemudian. Pesta pernikahan Kelingking dengan
sang Putri dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam dengan dimeriahkan oleh
berbagai pertunjukan seni dan tari. Tamu undangan berdatangan dari berbagai
penjuru Negeri.
Dari kejauhan, tampak hanya sang Putri yang duduk
sendirian di pelaminan. Si Kelingking tidak kelihatan karena tubuhnya terlalu
kecil. Di antara tamu undangan, ada yang berbisik-bisik membicarakan tentang
kedua mempelai tersebut.
“Kenapa sang Putri mau menikah dengan si Kelingking?
Bagaimana ia bisa mendapatkan keturunan, sementara suaminya hanya sebesar
kelingking?” tanya seorang tamu undangan.
“Entahlah! Tapi, yang jelas, sang Putri menikah dengan si
Kelingking bukan karena ingin mendapatkan keturunan, tapi ia ingin membalas
jasa kepada si Kelingking,” jawab seorang tamu undangan lainnya.
Usai pesta pernikahan putrinya, sang Raja memberikan
sebagian wilayah kekuasaannya, pasukan pengawal, dan tenaga kerja kepada si
Kelingking untuk membangun kerajaan sendiri. Setelah istananya jadi, Kelingking
bersama istrinya memimpin kerajaan kecil itu. Meski hidup dalam kemewahan,
istri Kelingking tetap menderita batin, karena si Kelingking tidak pernah
mengurus kerajaan dan sering pergi secara diam-diam tanpa memberitahukan
istrinya. Namun, anehnya, setiap Kelingking pergi, tidak lama kemudian seorang
pemuda gagah menunggang kuda putih datang ke kediaman istrinya.
“Ke mana suamimu si Kelingking?” tanya pemuda gagah itu.
“Suamiku sedang bepergian. Kamu siapa hai orang muda?”
tanya sang Putri.
“Maaf, bolehkah saya masuk ke dalam?” pinta pemuda itu.
“Jangan, orang muda! Tidak baik menurut adat,” cegat sang
Putri.
Pemuda itu pun tidak mau memaksakan kehendaknya. Dia pun
berpamitan dan pergi entah ke mana. Melihat gelagat aneh pemuda itu, sang Putri
pun mulai curiga. Pada malam berikutnya, ia berpura-pura tidur. Si Kelingking
yang mengira istrinya sudah tidur pulas pergi secara diam-diam. Namun, ia tidak
menyadari jika ternyata istrinya membututinya dari belakang.
Sesampainya di tepi sungai, si Kelingking pun langsung
membuka pakaian dan menyembunyikannya di balik semak-semak. Kemudian ia masuk
berendam ke dalam sungai seraya berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sebentar
setelah membaca doa, tiba-tiba seorang pemuda gagah berkuda putih muncul dari
dalam sungai. Alangkah, terkejutnya sang Putri menyaksikan peristiwa itu.
“Hai, bukankah pemuda itu yang sering datang menemuiku?”
gumam sang Putri.
Menyaksikan peristiwa itu, sadarlah sang Putri bahwa
pemuda gagah itu adalah suaminya, si Kelingking. Dengan cepat, ia pun segera
mengambil pakaian si Kelingking lalu membawanya pulang dan segera membakarnya.
Tidak berapa lama setelah sang Putri berada di rumah, pemuda berkuda itu datang
lagi menemuinya lalu berpamitan seperti biasanya. Namun, ketika sang Putri akan
masuk ke dalam rumah, tiba-tiba pemuda gagah itu kembali lagi menemuinya.
“Maafkan Kanda, Istriku! Percayalah pada Kanda, Dinda!
Kanda ini adalah si Kelingking. Kanda sudah tidak bisa lagi menjadi si
Kelingking. Pakaian Kanda hilang di semak-semak. Selama ini Kanda hanya ingin
menguji kesetiaan Dinda kepada Kanda. Ternyata, Dinda adalah istri yang setia
kepada suami. Izinkanlah Kanda masuk, Dinda!” pinta pemuda gagah itu.
Dengan perasaan senang dan gembira, sang Putri pun
mempersilahkan pemuda itu masuk ke dalam rumah, karena ia tahu bahwa pemuda
gagah itu adalah suaminya, si Kelingking. Setelah itu, sang Putri pun bercerita
kepada suaminya.
“Maafkan Dinda, Kanda! Dindalah yang mengambil pakaian
Kanda di semak-semak dan sudah Kanda bakar. Dinda bermaksud melakukan semua ini
karena Dinda ingin melihat Kanda seperti ini, gagah dan tampan,” kata sang
Putri.
Kelingking pun merasa senang melihat istrinya bahagia karena
mempunyai suami yang gagah dan tampan. Akhirnya, mereka pun hidup bahagia. Si
Kelingking memimpin negerinya dengan arif dan bijaksana, dan rakyatnya hidup
damai dan sejahtera.
SITIHA
DAN SISITI
Cerita
Rakyat Dari Jambi
Tersebutlah disebuah desa yang terpencil, hiduplah dua
gadis remaja yang bernama Sitiha dan Sisiti. Pada suatu hari, datanglah seorang
pemuda berkunjung kerumah mereka dengan maksud untuk berteduh karena hari
sedang hujan. Pemuda itupun dipersilakan masuk oleh Sitiha dan Sisiti. Tak
beberapa lama terasa akan sebuah keganjilan yang dilihat oleh pemuda tersebut,
karena ia melihat bahwa Sitiha dan Sisiti memberi makan seekor kucing dengan
makanan yang lezat dan beralaskan piring yang sangat indah. maka bertanyalah
pemuda tersebut.
"Haii Sitiha dan Sisiti, mengapa engkau memberi makan seekor
kucing kampung dengan makanan yang mewah ini?" ujar pemuda tersebut.
"Karena kucing ini tak lain adalah ibu kandung kami"
jawab Sitiha.
"Oh begitu. Tak merasa malukah engkau karena memiliki ibu seekor
kucing kampung? Hmm.. langit sudah cerah kembali, terima kasih atas
tummpangannya. Permisi" ujar pemuda tersebut seraya berpamitan pulang.
Mendengar ucapan pemuda tersebut, maka Sitiha dan Sisiti merasa malu.
Lalu mereka memutuskan untuk meninggalkan ibu mereka dan pergi untuk mencari
ibu yang lebih layak untuk mereka.
Sampai disuatu tempat, Sitiha dan Sisiti bertemu dengan matahari. Lalu
mereka bertanya pada matahari tersebut.
"Wahai matahari, maukah engkau kami jadikan sebagai ibu kami?"
ujar Sitiha dan Sisiti.
"Sebuah kehormatan untuk menjadi ibumu. Tentu saja aku mau.. Namun..."
jawab sang matahari.
"Namun apa?"
"Namun apabila awan datang. Maka aku tak terlihat. Jadi alangkah
baiknya jika engkau menjadikan awan sebagai ibumu?" Saran sang
Matahari.
"Baiklah" jawab mereka singkat.
Sisiti dan Sitiha pun melanjutkan perjalanan mereka untuk
mencari awan. Tak berapa lama bertemulah mereka dengan segumpal awan putih yang
besar. Dengan berani Sitiha dan Sisiti bertanya kepada sang Awan.
"Wahai Awan.. Maukah engkau menjadi ibu kami??"
"Hmm, senang sekali mendengarnya. Tapi lihatlah angin yang perlahan
berhembus kemari. Jika datang angin kencang maka aku akan terseret dan
terhempas ke gunung. Dengan keadaan itu apakah kau mau menjadikan aku sebagai
Ibumu??"
"Oh begitu rupanya. Mungkin aku harus mencari gunung untuk dijadikan
ibuku"
"Kalau begitu pergilah"
Maka Sitiha dan Sisitipun melanjutkan perjalanan mereka
untuk mencari sebuah gunung. Cukup jauh mereka berjalan, menyusuri hutan, naik
turun bukit, dicegah binatang buas. Namun mereka tetap melewatinya dengan
harapan bahwa Gunung akan menjadi Ibu mereka. Setelah berhari-hari sampailah
mereka disebuah gunung berapi yang kokoh. Dan bertanyalah mereka.
"Wahai gunung.. Sudikah engkau menjadi ibu kami??"
"Sebenarnya aku sudi, namun terlebih dulu kau harus tahu kekuranganku.
Agar kalian dapat memutuskan apakah aku layak untuk menjadi ibu kalian?"
"Ceritakanlah wahai Gunung apa kekuranganmu"
"Lihatlah lerengku yang berbatu ini. Penuh dengan lubang disetiap
jengkalnya. Lubang itu dibuat oleh tikus tanah."
"Hmmm.. Mungkin Tikuslah yang pantas menjadi ibu kami"
Lalu dengan pasti mereka melanjutkan perjalanan untuk
mencari Tikus tanah, mereka menyusuri lereng dan melihat lubang demi lubang
untuk mencari sang tikus tanah. Tak lama kemudian bertemulah mereka dengan
tikus tanah tersebut.
"Haii Tikus tanah, maukah engkau menjadi ibu kami?? namun sebelum itu sebutkan dulu kelemahanmu."
"Hmm.. Kelemahanku ada pada kucing. Karena setiap waktu aku harus senantiasa bersembunyi agar tak tertangkap oleh kucing. Karena apabila kucing melihatku maka habislah riwayatku" Ujar sang tikus.
"Kucing??" Mereka berpandangan seolah menyadari apa yang telah mereka lakukan selama ini kepada ibu kandung mereka. Mereka sadar dan akhirnya memutuskan untuk kembali kerumah.
Sesampainya dirumah langsung berderai air mata keduanya karena melihat tubuh sang ibu yang kurus karena menghawatirkan nasib kedua anaknya. Sejak saat itu Sitiha dan Sisiti bertekad untuk selalu mengasihi dan merawat ibunya dengan sepenuh hati.
Cerita
Merangin - Jambi
SEJARAH SUNGAI MERANGIN DAN SUNGAI MASUMAI,
JUGA BUAYA PUTIH NYA
Kota
bangko,adalah kota yang terletak di tengah kabupaten merangin.sebuah kabupaten
di propinsi jambi.kota bangko memiliki dua sungai besar,yaitu sungai merangin
dan sungai mesumai yang kedua sungai ini bertemu pada suatu muara ,yang di
namakan ujung tanjung muara mesumai.ujung tanjung muara mesumai sendiri juga
berfungsi sebagai taman kota,dimana taman ini banyak di kunjungi masyarakat
merangin,khusus nya oleh para remaja pada sore maupun malam hari.
Berbicara
tentang sungai,kedua sungai ini mempunyai sejarah yang sangat menarik,dimana
pada jaman dahulu berdirilah sebuah kerajaan yang bernama kerajaan
merangin.raja merangin memiliki seorang putra tunggal yang bernama alam
jaya.alam jaya sendiri terkenal sangat sombong,angkuh,dan terkadang bertindak
semaunya terhadap rakyat-rakyat kecil.
Pada
suatu hari,alam jaya sedang pergi berburu ke sebuah hutan yang tak jauh dari
kerajaan,daerah itu kini kita kenal dengan nama bukit aur.disana,tanpa
disengaja alam jaya bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik.gadis itu
bernama Selasih.alam jaya ingin sekali
memiliki selasi,bahkan ingin mmperistrinya.namun sayang sekali,selasih sendiri
menolak karna tidak lama lagi dia akan melangsungkan pernikahannya dengan
seorang pemuda biasa,yang bernama mesumai.tentu saja alam jaya merasa terhina
akan penolakan itu.
Malam
itu,alam jaya pergi menemui kedua orang tua selasi,alam jaya membujuk agar
pernikahan selasih di batalkan.alam jaya juga menjanjikan ,jika dia bisa
menikahi selasih,maka kebutuhan hidup seluruh keluarga selasih akan ditanggung
oleh nya,bahkan akan tinggal di istana bersamanya.mendengar tawaran itu,kedua
orang tua selasih kahirnya menyetujui permintaan alam jaya.namun ternyata tanpa
disengaja selasih mndengar pembicaraan itu.
Malam
itu,selasih langsung secepatnya menemui mesumai,dan menceritakan semua yang dia
dengar tadi.mesumai yang merasa tak akan mampu untuk bersaing denga seorang
putra raja,langsung mengambil keputusan untuk membawa selasih pergi dari
wilayah merangin.namun sayang,di tengah pelarian,alam jaya dan pasukan nya berhasil
menangkap mesumai dan selasih.maka mereka berdua di bawa ke istana untuk
diadili,dengan tuduhan perzinahan.tuduhan itu sendiri merupakan rekayasa dari
alam jaya sendiri.
Namun,ternyata
fitnah itu tidak dipercayai oleh petinggi-petinggi kerajaan,karena mereka tau
watak seorang alam jaya.dan disana,mesumai memberanikan diri untuk berontak,dan
menceritakan apa yang sebenrnya.maka raja memutuskan,untuk mengadakan tanding
pacuan kuda.siapa yang terlebih dahulu berhasil mencapai garis finish,maka
dialah yang akan menikahi selasih.mesumai menerima tantangan itu,dengan
perjanjian,tidak ada kecurangan dalam pertandingan ini.dan mesumai
besumpah,jika ada kecurangan,maka wilayah merangin akan mendapat suatu
bahaya.dan raja pun menyetujui sumpah itu.
Keesokan
hari nya,pentandingan pun dimulai.petandingan ini memiliki garis star dan jalur
yang berbeda,namun memiliki garis finish yang sama.pertandingan ini di mulai
pada saat ayam mulai bekokok.pertandingan pun dimulai dengan lintasan yang
cukup jauh,kira-kira 40km.dan akhirnya,tanpa diduga,ternyata mesumai lah yang
berhasil mencapai garis finish terlebih dahulu.teriakan gembira serta tepuk
tangan dari penonton pun ternyata membuat alam jaya menjadi malu,bahwa seorang
putra tunggal raja ternyata dapat dikalahkan oleh pemuda biasa.dari atas kuda
nya,alam jaya yang begitu di penuhi rasa amarah dan rasa malu,langsung saja
menebas leher mesumai dengan pedang.dan tewas lah mesumai.
Rakyat
dan petinggi kerajaan hanya bias terdiam dan terpana melihat kejadian itu.namun
raja pun memerintahkan pasukan untuk memenjarakan putra tunggal nya
sendiri.namun tak lama kemudian sebuah gempa besar terjadi,ternyata perjanjian
yang dilanggar oleh alam jaya menjadi sebuah bencana besar untuk wilayah
merangin.kedua jalur yang di lalui oleh kedua pemuda tadi menjadi longsor,dan
menjadi sungai yang mengaliri air yang begitu panas dan kedua sungai itu
bertemu dan membentuk sebuah muara.sungai tersebut membuat masyarakat resah
karna untuk kembali kerumah mereka masing-masing sangat tidak mungkin mampu
mnyebrangi sungai yang begitu panas.
Malam
pun tiba,malam itu seorang penasehat raja yang juga seorang ulama
bermimpi,bahwa bencana ini akan berakhir jika ada seorang yang mau mengorbankan
diri nya untuk masuk kedalam sungai sungai panas itu.pagi pun tiba,pagi di
tengah kerumanan marsayarakat dan petinggi-petinggi kerajaan,penasehat raja
mengumumkan tentang mimpi yang didpat nya semalam.namu tak ada seorang pun yang
mau untuk menjadi tumbal.dan tampa disengaja,selasih yang merasa hidupnya kini
tiada arti lagi,juga mengingat keputusan kedua orang tua nya yang lebih
mementingkan harta dibanding kebahagiaan anak nya sendiri,selasih memutuskan
untuk rela menjadi tumbal.walau tanpa persetujuan kedua orang tua nya selasih
tetap saja kuat kepada keputusannya.akhirnya dengan di saksikan rakyat dan
petinggi-ptinggi kerajaan merangin juga triakan larangan juga tangis kedua
orang tua nya yang tak dihiraukan nya lagi,selasih mulai berjalan dan
turun,lalu masuk kedalam sungai panas tersebut.
Dan
benar,dan tak lama kemudian air sungai yang tadinya mengaliri air yang begitu
panas,kini berubah seketika menjadi sungai biasa.dua sungai besar yang bertemu
di sebuah muara,dan membentu huruf Y.kedua sungai itu di berinama sungai
mesumai dan sungai merangin.
Namun
sejarah ternya tidak berhenti sampai disini.ternya,di muara tersebut rakyat
sangat sering sekali melihat sosok seekor buaya putih.buaya putih tersebut
sangat sering menampakan wujudnya pada saat malam di bulan purnama.buaya putih
tersebut di percaya sebagai jelmaan selasih yang tlah mengorbankan dirinya demi
keselamatan wilayah merangin.hingga jaman sekarang pun,buaya putih tersebut
masih sangat sering menampakan wujud nya.
LEGENDA DANAU KERINCI
Konon menurut cerita Danau
Kerinci tidak seperti sekarang ini. Asal muasalnya adalah dari
sebuah danau yang sangat besar sehingga diberi nama Danau Gedang. Pada waktu
itu Lembah Kerinci belum ada, karena masih tertutup oleh permukaan Danau Gedang
tersebut. Ada satu kisah yang menceritakan terjadinya Danau dan Lembah Kerinci
sehingga mejadi seperti sekarang ini.
Kisahnya berawal dari dua orang
kakak beradik yang tinggal di sebuah rumah di kaki Gunung Kerinci. Mereka yatim
piatu, sang kakak bernama Calungga sedang adiknya bernama Calupat. Sang kakak
berwatak pemberang, kasar dan berani. Sedangkan adiknya berwatak halus serta
cerdas. Sifat itu dipengaruhi oleh sepasang mustika yang diwariskan oleh
orangtua mereka. Calungga mendapat batu merah sedang Calupat mendapat batu
putih. Batu merah akan membuat pemiliknya menjadi pemberani dan memiliki
kesaktian luar biasa, sementara batu putih membawa keberuntungan dan kejayaan
bagi pemiliknya.
Pada suatu hari ketika sedang
berburu di hutan, Calunga menemukan sebuah telur yang sangat besar, sebesar
kelapa dangan kulit yang putih berkilau. Karena tertarik Calungga membawa
telur tersebut pulang. Calupat juga merasa heran pada telur yang dibawa
kakaknya, Calupat mengusulkan untuk menyimpan telur itu selama tiga hari sambil
ia minta petunjuk pada Dewa. Tetapi sewaktu Calupat sedang memancing, telur
tersebut direbus oleh Calungga yang sudah tidak tahan ingin merasakan telur
itu. Kemudian telur itu dimakan Calungga sampai habis, dan tertidur
kekenyangan.
Ketika adiknya pulang, Calungga
terbangun dengan rasa haus yang luar biasa sehingga diminumnya semua air yang
ada dirumah. Tetapi rasa haus itu tidak hilang meski badanya sudah gembung oleh
air. Calungga lalu pergi ke sungai dan minum sepuasnya sehingga tubuhnya makin
menggelembung dan memanjang. Keesokan harinya Calupat pergi ke sungai dan
mendapati kakaknya sudah berubah wujud. Di badan Calungga muncul sisik-sisik
sebesar nyiru dengan warna berkilauan. Saat itu Calungga masih terus minum air
sehingga sungai disekitar Gunung Berapi banyak yang kering. Konon sungai-sungai
itu sekarang disebut Sungai Kering.
Ketika melihat Calupat, Calungga segera menyuruh adiknya
pergi jauh. Karena takut, Calupat pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan
sedih harus bepisah dengan kakak yang disayanginya itu. Tak lama kemudian
Calungga yang sudah berubah wujud menjadi seekor naga mengucapkan
mantera-mantera. Seketika bumi bergetar, hujan badai turun dengan disertai
guntur yang menggelegar. Air bah muncul dimana-mana sehingga menggenangi tempat
Naga Calungga. Naga memutarkan badannya lalu berenang menuju Danau Gedang.
Konon tempat naga mengisar dan memutar sekarang dikenal sebagai Danau Bento.
Sedangkan sisik naga yang terkelupas berubah mejadi ikan yang bernama Simambang
Bulan yang dianggap sebagai nenek moyang ikan Semah.
Tiga musim berlalu, Calupat kembali ke Danau Gedang, di
tepi Danau Gedang ia berdiri dan memanggil-manggil kakaknya. Seketika dari air
muncul seekor naga yang tak lain adalah kakaknya. Sambil menangis gembira
Calupat menceritakan keinginannya untuk pergi ke tempat dimana banyak orang
tinggal (suatu desa). Calungga mengabulkan keinginan adiknya, ia menggendong
Calupat di punggungnya lalu berenang mengarungi danau hingga sampai ke sungai
sempit tempat keluarnya air danau dan tidak cukup untuk badannya yang besar.
Namun dengan kesaktian Naga Calungga menjebol sungai tersebut sambil terus
berenang menuju hilir hingga tiba di sebuah negri di pinggir sungai. Di tempat
itu Calupat kemudian menetap. Beberapa tahun kemudian karena kepandaian dan
sifatnya yang baik ia menjadi pemimpin di negri tersebut. Naga Calungga sendiri
setelah mengantarkan adiknya lalu menyelam ke dalam sungai dan pergi entah
kemana.
Sementara itu karena saluran pelepasan jebol oleh Naga
Calungga, air Danau Gedang melimpah sehingga permukaan danau surut dan
terbentuklah dataran luas yang sekarang dikenal dengan Dataran Kerinci. Danau
Gedang yang tersisa berubah nama menjadi Danau Kerinci, dan sungai tempat
keluarnya naga Calungga adalah sungai yang dikenal sebagai Sungai Batang
Merangin.(*)
Asal Usul Negeri Jambi
Pada zaman dahulu, di Pulau Sumatera
ada seorang gadis cantik bernama Putri Pinang Manak. Putri itu sangat terkenal
bukan hanya karena kecantikan, namun juga karena sifatnya yang lemah-lembut dan
baik hati.
Putri Pinang memiliki kecantikan yang sangat luar biasa.
Kulitnya putih kemerah-merahan seperti namanya, yaitu bagai kulit pinang yang
masak. Siapa pun yang melihat kecantikan sang putrid pasti akan terpesona.
Semua penduduk negeri itu menyukai Putri Pinang. Para
wanita, terutama yang seumur dengannya ingin bersahabat dengannya. Sebaliknya,
para pemuda dan pangeran ingin mempersuntingnya.
Pada suatu hari datanglah lamaran
seorang raja yang kaya raya dan amat luas kekuasaannya. Dia memiliki tambang
emas dan perak. Tentu jika lamarannya ditolak, pasti sang raja akan marah dan
murka, bahkan mungkin akan timbul pertumpahan darah. Namun, dengan demikian
tuan putrid tidak menyukai raja tersebut. Konon karena raja itu berwajah buruk.
Putri Pinang bingung. Ia mencari
akal bagaimana cara untuk menggagalkan lamaran raja. Setelah diam sejenak,
Putri Pinang berkata kepada utusan raja, “Baiklah, lamaran aku terima tetapi
ada dua syarat yang harus dipenuhi Sang Raja.”
“Apa saja syaratnya Tuan Putri?” Tanya utusan raja.
“Syarat pertama, Baginda raja harus dapat membuat istana
yang indah dan megah berikut isi perabotannya hanya dalam waktu satu malam.
Mulai terbenam matahari sampai ayam berkokok bersahut-sahutan.”
“Hamba akan sampaikan, Sang Putri.
Kemudian apa syarat yang kedua, Tuan Putri?” Tanya utusan raja. Tuan putrid
menjawab, “Syarat yang kedua, jika Baginda gagal memenuhi syarat yang pertama,
maka dia harus menyerahkan semua kekayaan dan kerajaannya.”
Begitu mendengar syarat yang kedua, utusan raja itu
menjadi merah padam. Namun demikian, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Kemudian
utusan raja itu segera pulang dan menghadap Sang Raja.
Setelah persyaratan yang diajukan Putri Pinang
disampaikan kepada Sang Raja, ia sangat terkejut karena Baginda raja
menyanggupi syarat-syarat itu. Begitu Sang Raja menyatakan kesanggupannya,
penasihat raja berkata, “Wahai tuanku! Sadarkah tuan resiko jika Tuan gagal
memenuhi syarat tersebut? Tuan akan kehilangan seluruh kekayaan alam dan kerajaannya.”
“Tidak mengapa, bukankah sudah lama
aku hidup seorang diri. Kini saatnya aku mengambil seorang permaisuri. Aku
sangat mencintai Putri Pinang dan saya yakin dapat memenuhinya.”
Kemudian Sang Raja mengumpulkan rakyat dan ahli
pertukangan di kerajaan. Bahkan ia menyewa dan berani membayar mahal para
tukang dari luar negeri agar pekerjaannya cepat selesai. Para tukang diperintah
bekerja keras dan cepat karena istana tersebut harus selesai dalam waktu satu
malam.
Pembangunan istana mulai dilaksanakan tepat ketika
matahari terbenam. Beribu-ribu tukang pandai dikerahkan sehingga terlihat
terang benderang. Setiap saat raja berkeliling memeriksa orang-orang yang
sedang bekerja.
Raja tampak bahagia karena tepat
tengah malam separuh pembangunan istana telah selesai dengan sempurna.
Sebaliknya, Putri Pinang merasa sangat cemas dan khawatir. Sebab permintaannya
untuk membuat istana dalam waktu satu malam hanyalah sekadar alas an yang
dicari-cari belaka. Hal ini ia lakukan agar raja tidak menikahinya.
Sang Raja bertambah bahagia ketika menjelang pagi dan
istana hampir jadi. Sebaliknya, Tuan Putri semakin cemas dan bingung. Makan
tidak enak dan tidur pun tidak nyenyak. Ia terus mencari akal dan tiba-tiba
Tuan Putri mendapatkan akal. Kemudian ia pergi ke kandang ayam. Ayam-ayam itu
mengira hari telah siang. Ayam-ayam itu pun berkokok berulang-ulang. Raja yang
sedang memeriksa rakyat dan para pekerja yang sedang bekerja itu terkejut.
Dengan sangat berat hati Bagina berkata kepada rakyatnya
dan para tukang, “Sudah, hentikan pekerjaan ini!”
“Mengapa, Baginda? Bukankah pekerjaan kita sudah hampir
selesai?” Tanya salah seorang pekerja.
“betul katamu, tapi kita telah kalah. Dalam perjanjian,
istana ini sudah harus selesai sebelum ayam berkokok,” jawab Baginda.
“Tetapi, sebenarnya hari belum pagi, tidak seharusnya
ayam-ayam berkokok. Sungguh aneh …!” ujar para tukang.
“Sudahlah, kembalilah kalian ke tempat masing-masing.
Kita sudah gagal memenuhi persyaratan Putri Pinang. Sebagaimana dalam
perjanjian, batas selesainya adalah sampai ayam berkokok bersahut-sahutan”,
demikian kata raja.
Dengan perasaan kecewa dan terpaksa, para pekerja
akhirnya menghentikan semua pekerjaan. Mereka kembali ke negeri asal
masing-masing. Baginda raja tetap berdiri di tempat semula. Hatinya hancur.
Dari balik bangunan istana yang
belum jadi, Putri Pinang datang menemui Baginda raja. Ia berkata, “Baginda,
Anda telah gagal memenuhi syarat saya maka sesuai dengan kesepakatan yang telah
dibuat, Baginda harus menyerahkan seluruh harta dan kerajaan.”
Akhirnya, Baginda raja menyerahkan segala kekayaan dan
kerajaannya kepada Putri Pinang. Sejak saat itu negeri timur berubah nama
menjadi negeri Putri Pinang. Dan gadis cantik itu menjadi rajanya. Orang-orang
dari negeri lain menyebut negeri itu sebagai Negeri Pinang. Sedang dalam bahasa
Jawa, pinang itu berarti jambe. Dari situ para raja di Jawa menyebut negeri itu
sebagai kerajaan Jambe. Lama-lama sebutan Jambe berubah menjadi Jambi.
Danau Kaco, masyarakat
setempat menyebutnya yang dalam bahasa Indonesia berarti kaca. Danau kaco
memang mempunyai air yang sangat bening kebiruan. Terletak di kentinggian 1289
diatas permukaan air laut, danau ini tergolong danau yang kecil tidak seperti
danau-danau pada umumnya. Hanya berukuran luas sekitar 30 x 30 meter, namun
danau ini bisa menyuguhkan keindahan tersendiri diantara pepohonan di
sekitarnya.
Selain mempunyai air
yang sangat bening, kedalaman danau ini masih misteri dan belum ada yang tau
pasti berapa kedalamanya. Walaupun kita masih bisa melihat beberapa ikan semah
yang berlalu lalang mencari makan. Keajaiban lainnya adalah Danau Kaco ini
memancarkan cahaya yang terang saat gelap gulita, apalagi saat bulan purnama.
Kebanyakan pengunjung banyak yang bermalam untuk melihat keajaiban ini dan
tidak diperlukan penerangan karena terang dari cahaya danau. Beberapa peneliti
mencoba untuk mencari jawaban akan fenomena ini, tetapi semua masih misterius
dimana dalam penyelaman oksigen habis sebelum menyentuh dasar danau.
Sedikit cerita dari
warga setempat. Mitos lahirnya Danau Kaco ini bermula hadirnya sebuah cerita
seorang putri cantik yang ingin dipinang oleh banyak pemuda. Tanpa ragu mereka
menitipkan bebatuan mulia pada Raja Gagak, ayah sang putri. Akan tetapi,
keserakahan justru membuat Raja Gagak menodai putrinya sendiri. Setelah itu,
putrinya pun dibenamkan ke dalam danau beserta harta pinangan tersebut.
Untuk menuju ke Danau
Kaco ini terbilang tidaklah mudah. Tidak adanya jalan aspal yang lebar ataupun
tempat berteduh yang nyaman selama perjalanan. Akan butuh tenaga ekstra untuk
mencapai ke danau ini. Pengunjung akan berjalan kaki menyusuri hutan sekitar 4
jam perjalanan, tetntunya dengan keindahan yang mengiringi perjalanan seperti
pepohonan besar, suara burung-burung endemik ataupun kupu-kupu nan cantik.
Selain pepohonan besar dan rimbun, pengunjung juga akan melewati rimbunya pohon
bambu dan menyeberangi sungai dengan air yang jernih. Dan tentunya semua itu
akan terbayarkan dengan keindahan Danau Kaco yang seindah mutiara.
Lokasi
Danau Kaco terletak di
Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat tepatnya di Desa Lempur, Kecamatan Gunung
Raya. Sekitar dua jam dari Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi.
Akses
Danau Kaco dapat
ditempuh melalui jalur darat dimulai dari Kota jambi ke sungai Penuh.Jarak
antara Jambi ke Sungai Penuh sekitar 500 km dengan waktu tempuh sekitar 10 jam
perjalanan. Selanjutnya dari Sungai Penuh dilanjutkan ke desa terdekat yaitu
Desa Lempur,Kecamatan Gunung Raya dalam waktu 45 Menit dengan kendaraan roda
empat atau pun roda dua. Setelah itu dilanjutkan lagi dengan berjalan kaki
menyelusuri hutan sekitar 4 jam untuk sampai ke Danau Kaco.
Asal-usul Nama Lubuk Bedorong – Cerita Rakyat Jambi
Zaman dahulu kala, Lubuk
Bedorong adalah nama sebuah lubuk, nama itu diberikan oleh seorang yang
merancang melatih Desa Lubuk Bedorong namanya Mangkuto Saman, berasal dari
pulau Jawa, istrinya bernama Siti Mariam yang berasal dari Jambi.
Setelah menikah Mangkuto
Saman mempunyai keinginan untuk mencari wilayah baru sebagai tempat pemukiman
mereka. Keinginan tersebut disampaikan kepada kedua mertuanya atas persetujuan
kedua mertuanya maka berangkatlah Mangkuto Saman beserta rombongan kearah barat
Provinsi Jambi berjumlah 40 orang, yang terdiri dari Mangkuto Saman dan istri
dan seorang Sutan Rajo Merah adik dari Siti Mariam, 2 orang pegawai dan 35
orang mempunyai keahlian dipertambangan emas, setelah berbulan-bulan rombongan
tersebut berjalan sehingga sampai di Bangko.
Mulai dari Bangko setiap
tanah yang ditempuhnya dalam air yang dilaluinya, mereka lihat dan ditelitinya
sehingga sampai ke Muara Limun yaitu Desa Pulau Pandan.
Di limun mereka
istirahat suatu malam disini mereka memperhatikan perbedaan sungai Batang Asai
dengan sungai Batang Limun. Mereka tertarik pada sungai limun karna sungai
limun pada muara airnya tenang, jernih, serta banyak ikannya .
Kemudian rombongan
mereka melanjutkan perjalanannya, sehingga mereka sampai di muara sipah. Di
sipah Mangkuto Saman memerintahkan para pegawainya membuatkan tempat istirahat
mereka, karna melihat keadaan tanah sipah kaya akan sumber daya alamnya,
Mangkuto Saman dan rombongannya pun menetap disana.
“Ke air berpijak
dipinggun ikan kedara, emas di kirai digambut”
Mangkuto Saman
memerintahkan anak buahnya membuat perusahaan tambang emas di Sipah. Setelah
beberapa hari tinggal di sipah Mangkuto Saman menyuruh istrinya Siti Mariam
berjalan dalam satu hari sejauh mana jalan yang dapat ditempuh istrinya berarti
sebatas itulah wilayah kekuasaannya.
Maka pergilah Siti
Mariam kehilir sungai ate mudik sampai kekejatan kura-kura. Disinilah Siti
Mariam melihat kura-kura yang sedang bertengkar, Siti Mariam heran melihatnya,
sehingga hari sudah sore barulah Siti Mariam beranjak pergi untuk pulang
Karna hari sudah gelap
terpaksa Siti Mariam bermalam dijalan, Mangkuto Saman sangat cemas karna
istrinya belum pulang. Pada pagi harinya Mangkuto Saman beserta beberapa
pegawainya pergi menyusul istrinya lewat jalan air sedangkan istri Mariam
pulang jalan darat setelah sampai, Mangkuto Saman disebuah Lubuk datanglah
utusan mengatakan kalau Siti Mariam telah pulang jalan darat.
Oleh karena Mangkuto
Saman terdorong / terlanjur mudik, maka lubuk itu dinamakan Lubuk Bedorong.
Akhirnya wilayah ini dijadikan pemukiman baru yang dinamakan Desa Lubuk
Bedorong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar