Selasa, 25 Oktober 2016

Cerita Rakyat Jambi Terlengkap

TUGAS
BUDAYA JAMBI
CERITA RAKYAT JAMBI”



 












Cerita Rakyat dari Jambi

Mitos Datuk Darah Putih merupakan cerita tentang seorang panglima perang kerajaan yang ada di daerah dusun Sungai Aro, kabupaten Tebo, Jambi. Mitos tentang Datuk Darah Putih ini dipercayai oleh masyarakat dusun sungai Aro sebagai seorang panglima yang mempunyai darah berwarna putih bila mengalami luka ditubuhnya.
Cerita tentang Datuk Darah Putih disebutkan pada masa penjajahan Belanda ke daerah Sungai Aro. Raja sungai Aro merasa khawatir akan nasib rakyatnya yang terbelenggu rantai penjajahan. Bermusyawarahlah raja dengan para panglima untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan serangan yang akan menimpa kerajaan. Keputusan raja bahwa gerakan Belanda harus dihadang di laut. Berdasarkan strategi tempat penghadangan adalah di Pulau Berhala. Tugas itu dibebankan pada Datuk Darah Putih. Perntah itu diterima dengan tegas walau saat itu istri Datuk Darah Putih sedang hamil tua. Perpisahan itu tanpa isak tangis sang istri. Istrinya tahu bahwa suaminya pergi berjuang untuk membela Jambi dari jajahan Belanda. Datuk Darah Putih dan seluruh anggota pasukan pilihan tersebut berjalan dengan gagah berselempan semangat dan kejantanan yang tinggi.
Sesampainya di Pulau Berhala Datuk Darah Putih dan pasukannya mendirikan benteng pertahanan mulai dari pantai sampai ke puncak bukit. Beberapa hari kemudian kapal pasukan Belanda datang ke Pulau Berhala untuk mengambil persediaan minum. Pada saat itulah serangan mendadak pasukan Datuk Darah Putih dilancarkan ke Belanda. Karena sama sekali tidak mengira serangan itu membuat Belanda kewalahan dan akhirnya kalah oleh pasukan Datuk Darah Putih. Seluruh isi kapal disita dan kapal Belanda dibakar.
Menjelang malam keempat setelah kemenangannya Datuk Darah Putih dan pasukannya kembali menghadang Belanda yang dating di tengah laut. Pertempuran pun berlangsung beberapa hari dan ternyata pihak Belanda jauh lebih besar dan kuat dalam persenjataan. Kekalahan dalam jumlah dan senjata yang akhirnya membuat pasukan Datuk Darah Putih kalah. Di pertempuran itu Datuk Darah Putih terpenggal kepalanya oleh pedang prajurit Belanda. Kapalnya pun hancur dan tenggelam ke laut. Dari urat leher yang terputus bersimbah darah berwarna putih masih terdengar suara Datuk Darah Putih yang memerintahkan anak buahnya untuk segera membawanya mundur sedangkan yang lain meneruskan perlawanan. Oleh anak buahnya, Datuk Darah Putih di bawa ke benteng pertahanan. Kemudian Datuk Darah Putih memerintahkan anak buahnya untuk mencari batu sengkalan (penggiling cabai) untuk menutup lukanya. Setelah menutup lukanya dengan batu sengkalan maka berhentilah darah yang mengalir. Seperti tidak mengalami kecelakaan, Datuk Darah Putih beserta anak buahnya kembali bergabung dengan anggota pasukannya. Ia mengamuk dan menghantam habis semua serdadu Belanda. Pertempuran akhirnya dimenangi oleh Belanda.
Esok harinya Datuk Darah Putih kembali ke Negeri Sungai Aro. Ketika sampai di Sungai Aro, ia dipapah menuju rumahnya dan ia tidak mampir menghadap raja terlebih dahulu. Rakyat ikut mengiringinya sampai ke anak tangga rumah. Sang istri telah menunggu dan telah melahirkan seorang putra. Melihat kondisi suaminya yang sudah tanpa kepala, ia tetap pasrah dan kepulangan itu juga tidak ditangisinya. Kemudian Datuk Darah Putih perlahan meraih bayi dalam buaian. Sang bayi diam terlelap dalam tidurnya dan dengan kedua tangan yang kokoh Datuk Darah Putih mendekap anaknya ke dadanya dan kembali meletakkannya di buaian. Orang-orang yang hadir tenggelam dalam keharuan dan melinangkan air mata melihat dan merasakan seolah-olah ada dialog perpisahan diantara ayah dan anak, diantara suami dan istri, diantara panglima dan anak buahnya. Datuk Darah Putih pelan-pelan tertunduk dan kemudian berbaring di dekat buaian anak tercinta, anak ang hanya dapat dirabanya dan didekapnya tana mengetahui bentuk dan rupanya. Bersamaan dengan suara zan ashar yang sayup-sayup sampai dari kejauhan, tubuh Datuk Darah Putih terbujur kaku tak bernafas lagi.




Putri Cermin Cina (Cerita Rakyat Dari Jambi)

 

Dahulu di daerah Jambi ada sebuah negeri yang diperintah oleh seorang Raja yang bernama Sutan Mambang Matahari. Sutan mempunyai seorang anak laki-laki bernama Tuan Muda Selat dan seorang anak perempuan bernama Putri cermin Cina. tuan Muda Selat adalah seorang pemuda yang berwajah tampan tapi sifatnya sedikit ceroboh. Sedangkan Putri Cermin Cina adakah seorang putrid yang cantik jelita, baik hati, dan lemah lembut.
Pada suatu hari, dating saudagar muda ke daerah itu, saudagar muda itu bernama Tuan Muda Senaning. Mula-mula tujuan Tuan Muda Senaning hanya untuk berdagang, namun saat penjamuan makan Tuan Muda Senaning bertamu dengan Putri Cermin Cina. seketika itu Tuan Muda Senaning jatuh hati pada Putri Cermin Cina. Demikian pula, diam-diam Putri Cermin Cina juga menaruh hati pada Tuan Muda Senaning. Putri Cermin Cina menyarankan untuk Tuan Muda Senaning dating kepada ayahandanya Sutan Mambang Matahari untuk melamarnya.
Tidak lama kemudian tuan Muda Senaning datang mengahadap Sutan Mambang Matahari untuk melamar Putri Cermin Cina. Sutan Mambang Matahari dengan senang hati menerima lamaran Tuan Muda Senaning karena memang Tuan Muda Senaning mempunyai perangai yang baik dan sopan. Tapi Sutan Mambang Matahari terpaksa menunda pernikahan Tuan Muda Senaning dengan Putri Cermin Cina selama tiga bulan karena Sutan harus berlayar untuk mencari bekal pesta pernikahan putrinya. Sebelum berangkat berlayar, Sutan Mambang Matahari berpesan pada Tuan Muda Selat untuk menjaga adiknya dengan baik.
Pada suatu hari, selepas keberangkatan Sutan Mambang Matahari, TuanMuda Senaning dan Tuan Muda Selat asyik bermain gasing di halaman istana. Mereka tertawa tergelak-gelak makin lama makin asyik sehingga orang yang memdengarpun turut tertawa senang. Hal itu mebuat Putri Cermin Cina penasaran dan ingin melihat keasyikan kakaknya dan calon suaminya, ia melihat dari jendela. Kehadiran Putri Cermin Cina terlihat oleh dua orang itu, sambil menoleh kearah jendela, Tuan Muda Senaning melepas tali gasingnya. Gasing Tuan Muda Senaning mengenai gasing Tuan Muda Selat. Karena berbenturan keras sama keras, gasing Tuan Muda Selat melayang dan terpelanting tinggi.
Gasing itu terpelanting kearah Putri Cermin Cina yang melihat dari jendela. Gasing itu berputar diatas kening Putri Cermin Cina. Putri Cermin Cina menjerit kesakitan. Kening Putri Cermin Cina berlumuran darah, ia jatuh ke lantai tak sadarkan diri. semua orang panik dan berusaha menolong Putri Cermin Cina. Namun takdir berkata lain, Putri yang cantik jelita itu akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir.
Tuan Muda Senaning sangat merasa bersalah atas kematian Putri Cermin Cina, dia menjadi putus asa dan gelap mata. Dia melihat dua tombak bersilang di dinding, dengan cepat tombak itu di tarik dan di tancapkan ke tanah dengan posisi mata tombak mencuat ke atas. Kemudian Tuan Muda Senaning melompat kearah mata tombak dan seketika itu mata tombak menembus perutnya hingga punggungnya. Tuan Muda Senaning meninggal untuk menyusul Putri Cermin Cina.
Semua warga membantu mengurus dua jenazah orang yang saling jatuh cinta itu. Tuan MudaSelat begitu kalut dan bingung. Ayahandanya pasti marah besar apabila mengethui keadin itu. kedua jenazah itu akhirnya dikuburkan. Jenazah putri Cermin Cina dikubur di tepi sungi, Sedangkan jenazah Tuan Muda Senaning dibawa anak buahnya ke kapal, dan kapal itu berlayar ke seberang. Jenazah Tuan Muda Senaning dikuburkan di tempat itu diberi nama dusun Senaning.
Tuan Muda Selat juga merasa bersalah atas kematian adik tercintanya, dia terus menyalahkan dirinya karena gasingnya, Putri Cermin Cina meninggal dunia. Akhirnya Tuan Muda Selat pergi meninggalkan negerinya bersama orang-orang kampung. Orang-orang yang ikut dengannya ditinggal di suatu tempat dan tempat itu di sebut Kampung Selat. Namun Tuan Muda Selat pergi tanpa memiliki tujuan yang jelas.
Tidak lama kemudian Sutan Mambang Matahari tiba di kampungnya. Sutan bingung karena kampungnya begitu sepi, dia menuju istanan namun hanya tersisa beberapa orang yang menjaga istana beberapa orang yang menjaga istana. Setelah Sutan tahu tentang kejadian sebenarnya, Sutan Mambang Matahari merasa sedih, kemudian ia beserta pengikutnya pergi meninggalkan kampungnya, mereka pergi ke dusun seberang dan mendirikan kampung disana. Kampung itu terletak diantara kubur Tuan Muda Senaning, dan kapal Tuan Muda Selat. Kampung itu bernama Dusun Tengah Lubuk Ruso.
Legenda cerita ini oleh rakyat Jambi dianggap benar-benar terjadi karena ada hubungannya dengan nama-nama kampung di Kabupaten Batanghari, Jambi.
Tema dari cerita rakyat diatas adalah kehidupan muda-mudi yang saling mencintai hingga akhir hayat mereka. Tokoh yang terdapat pada cerita rakyat ini adalah Putri Cermin Cina, Tuan Muda Senaning, Tuan Muda Selat, Sutan Mambang Matahari, pengikut Tuan muda Senaning, dan orang-orang kampung. Putri Cermin Cina mempunyai watak baik hati dan lemah lembut, tuan Muda Senaning Berwatak sopan dan baik, Tuan Muda Selat berwatak agak ceroboh dan hormat pada ornag tuanya, Sutan Mambang Matahari berwatak bijaksana, baik hati dan sangat menyayangi kedua anaknya, sedangkan pengikut Tuan Muda Senaning berwatak setia pada Tuannya dan orang kampung berwatak setia menemani Tuannya, membantu sabisa mungkin. Cerita rakyat yang berjudul Putri Cermin Cina ini menggunakan alur maju karena disepanjang cerita dari awal hingga akhir berjalan secara urut dan teratur. Dan juga menggunakan alur tertutup karena akhir cerita telah diketahui bahwa Putri Cermin Cina meninggal dunia kemudian Tuan Muda Senaning juga ikut bunuh diri karena tidak bisa hidup tanpa Putri Cermin Cina, Tuan Muda Selat pergi meninggalkan kampungnya, dan Sutan Mambang Matahari juga pergi meninggalkan kampungnya karena merasa sedih atas kematian Putrinya dan atas semua yang telah terjadi.
Setting/latar cerita yang terdapat dalam cerita rakyat ini adalah setting waktu disaat Tuan Muda Senaning tiba di kampung Putri Cermin Cina, saat jamuan makan, saat Tuan Muda Senaning melamar Putri Cermin Cina, saat bermain gasing. Sedangkan setting tempatnya adalah di negeri yang yang di pimpin Sutan Mambang Matahari, di halaman istana, di kapal pelayaran, di tepi sungai tempat makam Putri Cermin Cina, Kampung Selat, Dusun Senaning, Dusun Tengah Lubuk Ruso. Setting suansana yang terdapat dalam cerita rakyat ini adalah suasana gembira dan bahagia saat lamaran Tuan Muda Senaning diterima oleh Sutan Mambang Matahari, saat Tuan Muda Senaning dan Tuan Muda Selat bermain gasing bersama, suasana sedih dan haru saat kematian Putri Cermin Cina dan Tuan Muda Senaning. Sudut pandang yang digunakan adalah pencerita serba hadir karena di dalam cerita menggunakan kata ganti “ia atau dia” dan juga dengan menyebutkan nama tokohnya. dalam cerita ini terdapat beberapa majas, yaitu majas metafora dalam kata-kata “ jatuh hati, menaruh hati, dan gelap mata” juga ada majas personifikasi dalam kata “ takdir berkata lain”. Amanat yang terkandung dalam cerita rakyat ini adalah apabila melakukan sesuatu jangan ceroboh karena sedikit kecerobohan akan dapat menimbulkan akibat yang fatal, saat mendapat musibah harus di terima dengan ikhlas karena itu kehendak Yang Kuasa, jangan menghadapi sesuatu dengan gelap mata, semua harus dipikiran dengan matang dan pikiran yang tenang, dan juga jangan melepas tanggung jawab yang telah di bebankan pada kita.
Itulah sinopsis cerita rakyat yang berjudul “Putri Cermin Cina, cerita rakyat dari Jambi” dan analisis cerita rakyat yang mengupas unsure-unsur intrinsic yang terdapat dalam cerita rakyat tersebut. Setiap cerita pasti mengandung amanat yang akan disampaikan pada pembaca, dan semoga amanat yang terkandung dalam cerita rakyat ini dapat bermanfaat bagi kehidupan kita selanjutnya.



Asal Mula Nama Lempur, Tebat Gelang, dan Tebat Jambi
Jambi – Indonesia

Lempur, Tebat Gelang, dan Tebat Jambi merupakan tiga nama daerah yang terletak di wilayah Provinsi Jambi. Keberadaan nama ketiga daerah tersebut terkait dengan cerita seorang putri yang durhaka terhadap ibunya. Siapakah putri itu dan bagaimana ia durhaka kepada ibunya? Berikut kisahnya dalam cerita Asal Mula Nama Lempur, Tebat Gelang, dan Tebat Jambi.
* * *
Dahulu, di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Puncak Tiga Kaum. Dinamakan demikian karena kerajaan ini dipimpin oleh tiga orang bersaudara, yaitu si sulung Pamuncak Rencong Talang, si tengah Pamuncak Tanjung Sari, dan si  bungsu Pamuncak Koto Tapus. Wilayah Kerajaan Puncak Tiga Kaum sangat luas dan subur sehingga untuk mengelolanya, ketiga saudara ini membagi wilayah kerajaan menjadi 3 bagian. Masing-masing mendapat bagian tersendiri dan berhak mengatur wilayah beserta rakyat di dalamnya. Meskipun wilayah Kerajaan Puncak Tiga Kaum terbagi menjadi 3 bagian, namun segala urusan kerajaan senantiasa mereka selesaikan dengan jalan musyawarah dan saling membantu.
Pamuncak Rencong Talang dan kedua adiknya merupakan pemimpin yang adil dan bijaksana. Kepemimpinan tersebut membuat rakyat hidup makmur, aman, dan tenteram. Sudah menjadi kebiasaan, jika suatu daerah akan menanam atau saat musim panen tiba, mereka mengadakan upacara kenduri. Kenduri yang diadakan setelah panen dinamakan Kenuhei Sudeah Nuea. Acara keduri tersebut biasanya dihelat sangat meriah. Mereka mengundang warga dari daerah lain beserta para pemuka masyarakat yang terdapat di daerah tersebut.
Suatu ketika, daerah Pamuncak Rencong Talang sedang panen padi dan memperoleh hasil yang melimpah. Ia pun bermaksud mengadakan pesta kenduri Kenuhei Sudeah Nuea.
“Wahai, saudara-saudara sekalian. Hasil panen kita tahun ini cukup melimpah. Sebagai ucapan syukur atas nikmat ini, maka acara kenduri Kenuhei Sudeah Nuea akan segera kita laksanakan,” ungkap Pamuncak Rencong Talang, “Tolong siapkan segala sesuatu yang diperlukan, termasuk undangan untuk para tamu!”
“Baik, Paduka,” kata para pemuka masyarakat serentak.
Persiapan upacara kenduri Kenuhei Sudeah Nuea pun segera dilaksanakan. Seluruh rakyat daerah itu terlihat sibuk. Pamuncak Rencong Talang juga melayangkan undangan kepada saudaranya, Pamuncak Tanjung Sari dan Pamuncak Koto Tapus, beserta seluruh kerabatnya. Acara kenduri rencananya akan berlangsung selama tiga hari. Hari pertama, khusus untuk undangan dari luar daerah, hari kedua untuk keluarga para pamuncak daerah dan orang-orang tua, dan hari ketiga khusus untuk para pemuda dan pemudi.
Waktu acara kenduri Kenuhei Sudeah Nuea telah tiba. Pada hari pertama, para tamu undangan dari luar daerah mulai berdatangan. Acara itu berlangsung tertib, aman, dan meriah. Memasuki hari kedua, para tamu undangan dari keluarga para pamuncak juga hadir. Pamuncak Koto Talang hadir bersama keluarga dan beberapa pengawalnya. Sementara itu, Pamuncak Tanjung Sari hanya didampingi oleh para punggawanya.
Pada hari ketiga, putri Pamuncak Tanjung Sari yang cantik pun hadir dengan didampingi oleh ibunya. Saat memasuki tempat pesta, sang Putri menjadi pusat perhatian para pemuda. Di kursi deretan paling belakang, tampak dua pemuda sedang berbisik-bisik membicarakan kecantikan gadis itu.
Sementara acara kenduri berlangsung, ibu sang Putri berkumpul bersama keluarga Pamuncak Rencong Talang. Ia sengaja tidak bergabung bersama putrinya karena acara itu khusus untuk kaum muda-mudi. Acara itu berlangsung sangat meriah. Semua undangan turut menikmati berbagai hidangan dan acara pertunjukan seni yang digelar malam itu. Saking asyiknya, mereka tidak menyadari jika ayam sudah berkokok pertanda hari sudah pagi.
Ibu sang putri segera bergegas ke tempat acara untuk mengajak putrinya pulang. Ia khawatir kalau putrinya jatuh sakit akibat kurang tidur.
“Putriku, ayo kita pulang!” bujuk sang ibu.
Sang putri tidak menghiraukan ajakan ibunya. Ia masih saja asyik menikmati pesta itu bersama tamu undangan lainnya. Karena tidak dihiraukan, sang ibu pun kembali berkumpul bersama keluarga Pamuncak Rencong Talang. Selang beberapa saat kemudian, ia kembali ke tempat pesta itu untuk memanggil putrinya.
“Ayo putriku, kita pulang! Hari sudah siang,” bujuk sang ibu.
Lagi-lagi sang putri tidak menghiraukan ajakan ibunya. Bahkan, ia merasa terganggu oleh ajakan ibunya. Salah seorang pemuda yang duduk bersamanya pun bertanya kepada sang putri.
“Hai, Putri. Siapa gerangan perempuan tua itu?” tanya pemuda itu.
“Oooh... perempuan tua itu pembantuku,” jawab sang putri.
Jawaban dari sang putri terdengar hingga ke telinga sang ibu. Tak disangka putri kesayangannya tega berkata seperti itu. Hatinya sakit sekali bagai diiris sembilu. Putri yang amat disayanginya itu tidak mengakuinya sebagai ibu.
“Oh, Tuhan. Ampunilah dosa-dosa, Putriku!” doa sang ibu.
Setelah acara selesai, istri Pamuncak Tanjung Sari beserta putrinya berpamitan pada keluarga Pamuncak Rencong Talang untuk pulang ke daerahnya. Perjalanan pulang memerlukan waktu yang lama karena jauhnya jarak ke rumah. Mereka harus melewati lembah, perbukitan, sawah, dan ladang. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan rombongan pemuda yang bersama sang putri tadi malam. Karena kelelahan, kedua rombongan itu memutuskan untuk beristirahat bersama-sama di suatu tempat. Pada saat istirahat, pemuda itu kembali bertanya kepada sang putri.
“Maaf, Putri. Siapa sebenarnya perempuan tua yang selalu bersamamu itu?” tanya pemuda itu.
“Bukankah sudah ku katakan kalau dia itu pembantuku?” jawab sang putri.
Doa sang ibu yang tulus itu dikabulkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Begitu sang putri melalui rawa, kakinya terjebak lumpur rawa. Semakin lama, lumpur rawa itu terus menyedot sang putri hingga hampir tenggelam. Putri durhaka itu pun meraung-raung meminta tolong kepada ibunya.
Menyesal kemudian tiadalah guna, sang ibu sudah terlanjur sakit hati. Ia pun tidak menghiraukan permintaan putrinya. Ketika melihat putrinya sudah tenggelam sampai sebatas dagu, sang ibu cepat-cepat mendekati putrinya, namun bukan untuk menolong, melainkan mengambil perhiasan berupa gelang dan sehelai songket (selendang khas Jambi) yang dikenakan putrinya. Begitu ia selesai mengambil barang-barang tersebut, sang putri pun tenggelam ke dalam lumpur rawa. Sejak itulah, daerah itu dinamakan Lempur, yaitu diambil dari kata lumpur.
Setelah itu, sang ibu melanjutkan perjalanan. Setibanya di sebuah tempat, ia beristirahat sejenak untuk melepas lelah. Saat melihat sebuah tebat (kolam), ia kemudian mendekati kolam itu untuk membasuh badan dan mukanya. Ketika hendak membasuh mukanya, tiba-tiba gelang milik putrinya terjatuh. Gelang itu mengingatkan pada putrinya yang telah meninggal dunia. Agar tidak terus menerus teringat pada putrinya, ia akhirnya membuang gelang itu ke dalam tebat. Sejak itulah, tempat tersebut dinamakan Tebat Gelang.
Usai beristirahat, istri Pamuncak Tanjung Sari itu kembali melanjutkan perjalanan. Setiba di sebuah tempat yang ada kolamnya, ia kembali beristirahat. Ketika ia hendak membasuh badan, tiba-tiba selendang songket milik putrinya yang dikalungkan di lehernya terjatuh. Perempuan tua itu pun kembali teringat pada putrinya. Agar bayangan putrinya tidak mengganggunya lagi, ia pun membuang selendang khas Jambi itu ke dalam tebat. Tempat tersebut kemudian dinamakan Tebat Jambi.



Tan Talanai
Jambi – Indonesia

Tan Talanai adalah seorang raja yang pernah memerintah di sebuah kerajaan di Jambi pada sekitar pertengahan abad ke-15 Masehi. Sang raja memiliki seorang bayi laki-laki yang diharapkan dapat meneruskan tahta sebagai Raja Jambi. Namun, baru beberapa hari setelah putranya lahir, Raja Tan Talanai justru membuangnya ke lautan lepas. Mengapa Raja Tan Talanai membuang putra kandungnya sendiri ke laut? Lalu, bagaimana nasib anak yang malang itu selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Tan Talanai Berikut ini!
* * *
Pada zaman dahulu kala, Negeri Jambi dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana bernama Dewa Sekerabah atau biasa dikenal si Pahit Lidah. Namun sayang, sang raja tidak mempunyai keturunan sehingga ketika ia wafat, Negeri Jambi menjadi kacau balau. Rakyatnya membentuk kelompok-kelompok dan kemudian saling berperang satu sama lain.
Kabar tentang kekacauan di Negeri Jambi tersebar hingga ke berbagai penjuru. Mendengar kabar tersebut, Tan Talanai yang memerintah di Rabu Menarah, Turki, berambisi untuk menguasai Negeri Jambi. Dengan berbagai upaya, akhirnya ia berhasil mengusai negeri itu dan menjadi raja di sana.
Tan Talanai adalah raja yang arif dan bijaksana sehingga rakyat negeri itu kembali damai, makmur, dan sejahtera. Seluruh rakyat menyukai gaya kepemimpinan Tan Talanai. Sang raja pun amat bahagia karena merasa hidupnya telah sempurna. Selain memiliki kekuasaan dan dihormati oleh rakyatnya, ia juga mempunyai harta benda yang melimpah. Namun, ada satu hal yang selalu mengganjal di pikiran Tan Talanai, yaitu karena ia belum mempunyai anak. Ia senantiasa berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar dikaruniai keturunan.

Beberapa bulan kemudian, sang permaisuri melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan. Tan Talanai menyambutnya dengan perasaan bahagia. Selang tiga hari setelah bayi itu lahir, Tan Talanai mendapat laporan dari ahli nujum istana bahwa kehadiran bayi itu justru akan membawa malapetaka bagi kerajaannya.
Raja Negeri Jambi itu mulanya ragu dengan apa yang baru saja didengarnya. Namun karena amat percaya dengan ucapan si ahli nujum istana, maka sang raja pun segera memerintahkan patihnya, Datuk Emping Besi, untuk membuang putranya ke lautan.
“Datuk Emping Besi, hanyutkan anak itu ke tengah laut!” titah Tan Talanai.
Datuk Emping Besi sebenarnya tidak tega membuang bayi itu, namun karena perintah raja ia pun terpaksa melakukannya. Sementara itu, sang permaisuri yang mengetahui anak semata wayangnya itu hendak dibuang ke laut menjadi bersedih hati. Ia pun segera membujuk sang raja agar mengurungkan niatnya.
Sang permaisuri pun tidak kuasa mencegah keinginan Tan Talanai. Akhirnya, Datuk Emping Besi bersama beberapa pengawal istana segera memasukkan bayi itu ke dalam peti lalu membuangnya ke lautan lepas. Peti yang berisi bayi itu pun hanyut terbawa arus gelombang laut hingga terdampar di perairan Negeri Siam (sekarang negara Thailand).
Sementara itu, ratu Negeri Siam yang bernama Tuan Putri sedang asyik memancing di laut dengan menggunakan perahu bersama pengawalnya. Saat itu, tiba-tiba ia melihat sebuah peti terapung di permukaan air laut.
Setelah diperiksa, ternyata pada dinding peti itu terdapat sebuah tanda yang menunjukkan bahwa bayi tersebut adalah putra Tan Talanai, sang Raja Jambi. Meskipun demikian, Tuan Putri tetap membawa pulang bayi itu ke istananya. Alangkah senangnya hati Tuan Putri karena memang sudah lama ia mendambakan seorang anak.
Sejak itu, putra Tan Talanai itu menjadi salah satu anggota keluarga Kerajaan Siam. Di bawah asuhan Tuan Putri, bayi itu tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan sakti. Ia sangat mahir bermain silat karena sejak kecil ia dilatih ilmu olah kanuragan oleh para pendekar Kerajaan Siam. Selain itu, anak itu juga pandai bergaul dengan teman-teman sebayanya.
Suatu hari, sepulang dari bermain bersama teman-temannya, anak itu duduk termenung seorang diri di pendapa istana. Hatinya sedih karena teman-temannya sering mengolok-oloknya bahwa ia tidak mempunyai ayah. Menyadari bahwa dirinya memang selama ini hanya dirawat dan dibesarkan oleh Tuan Putri, ia pun segera menemui ibunya itu untuk menanyakan siapa sebenarnya ayahnya.
Ayah. Kalau boleh tahu siapa sebenarnya ayah Ananda, Bu?”
Mendengar pertanyaan itu, Tuan Putri menghela nafas panjang. Kemudian Tuan Putri menceritakan bahwa ayahnya adalah seorang raja di Negeri Jambi yang bernama Tan Talanai.
“Lalu, bagaimana Ananda bisa berada di istana ini, Bu?” tanya anak itu bingung.
“Hmmm… keadaan ini memang sangat sulit untuk dipercaya, Putraku,” kata Tuan Putri.
“Apa maksud Ibu?” anak itu semakin bingung.
“Ketahuilah, Putraku. Sebenarnya, aku bukanlah ibu kandungmu. Ibu hanya menemukanmu terapung-apung di tengah laut saat kamu masih bayi dan merawatmu. Kedua orang tuamu saat ini berada di Negeri Jambi,” jelas Tuan Putri.
Mendengar penjelasan itu, anak itu menjadi marah. Ia pun bertekad untuk menghabisi nyawa ayahnya yang telah tega membuangnya sewaktu masih bayi.
“Dasar orang tua tidak berperasaan! Ia pantas dibinasakan!” geram si anak menahan amarah.
Anak itu pun menyusun rencana untuk melakukan penyerangan ke Negeri Jambi pada tahun depan. Tuan Putri yang mengetahui rencana itu, berupaya membujuk anak itu agar mengurungkan niatnya agar tidak terjadi peperangan antara anak dengan orang tuanya sendiri. Namun, anak itu tetap bertekad keras untuk menyerang kerajaan yang dipimpin oleh ayah kandungnya itu. Akhirnya, Tuan Putri secara diam-diam mengirim utusan ke Negeri Jambi untuk memberitahukan Tan Talanai mengenai rencana anaknya itu.
Di Negeri Jambi, Tan Talanai yang telah mendengar berita tersebut menjadi marah. Ia pun memerintahkan para menterinya untuk mempersiapkan pertahanan di sekitar ibukota Negeri Jambi.
Singkat cerita, genap satu tahun sudah berlalu. Putra Tan Talanai bersama para pasukannya sedang bergerak menuju ke Jambi. Setiba di negeri itu, perang antara dua pasukan yang masing-masing dipimpin oleh anak dan ayah itu tidak dapat dihindari. Pasukan sang anak langsung menyerang dan dapat mengalahkan pasukan sang Ayah, yang tersisa hanya Raja Tan Talanai. Pertarungan satu lawan satu pun terjadi. Ayah dan anak itu sama-sama sakti sehingga duel berlangsung dengan seru sampai pada akhirnya Tan Talanai mengalah karena menyadari semua kekhilafannya.
“Baiklah, Putraku. Jika Ananda memang benar-benar ingin membunuh Ayah, ambillah sebuah batu yang runcing lalu tikamkan ke tubuhku. Hanya itu satu-satunya cara yang dapat membunuh Ayah,” kata Tan Talanai. “Tapi, sebelum Ananda lakukan itu, tolong dengarkan dulu penjelasan Ayah. Ayah benar-benar sangat menyesal telah percaya begitu saja pada ramalam ahli nujum yang mengatakan bahwa Ananda akan mencelakai Ayah.”
Mendengar penjelasan dari ayahnya, hati anak itu menjadi luluh. Ia pun memeluk sang ayah.
“Maafkan Ananda, Ayah! Ananda sudah lancang ingin membunuh Ayah,” ucap anak itu sambil meneteskan air mata.
“Sudahlah, Putraku! Ayahlah yang harusnya minta maaf karena telah menyia-nyiakanmu,” kata sang ayah.
Anak itu pun memaafkan semua kekhilafan ayahandanya dan mengajak ayah serta ibu kandungnya untuk tinggal di Kerajaan Siam bersama Tuan Putri. Akhirnya, mereka pun hidup berbahagia. Beberapa tahun kemudian, putra Tan Talanai itu diangkat menjadi raja yang kemudian menurunkan Raja-raja Siam berikutnya. Hingga saat ini, sebagian orang percaya bahwa Raja Siam berasal dari Jambi dan Raja Jambi berasal dari Turki.



Putri Ayu Nyimas Rahima
Jambi – Indonesia

Dahulu, di Tanah Pulih atau tepatnya di daerah Tanjung Pasir, Jambi, ada seorang gadis cantik bernama Putri Rahima. Ia adalah putri semata wayang Kemas Mahmud, seorang tokoh yang dihormati di kampung itu. Kecantikan Putri Rahima bagai bidadari dari kahyangan. Selain cantik, ia juga pandai mengaji dengan suara yang merdu. Sopan-santun dan budi-bahasanya pun amat elok. Kemahirannya memasak, menjahit, menenun, dan merenda membuat putri Kemas Mahmud itu semakin sempurna sebagai gadis idaman bagi setiap pemuda.
Kabar tentang kecantikan Putri Rahima tersebar hingga ke seluruh pelosok wilayah Jambi, meskipun pada saat itu sedang berkecamuk perang melawan Belanda. Para pemuda pejuang Jambi yang banyak bergerilya ke tengah-tengah hutan pun mendengar kabar tersebut. Berita itu juga sampai ke telinga Sultan Muhammad yang memerintah di daerah Kampung Lereng. Ia adalah sultan yang masih muda, tampan, dan berwibawa. Ia juga terkenal saleh dan taat beribadah.
Suatu hari, Sultan Muhammad diam-diam meninggalkan istana untuk membuktikan berita tentang kecantikan Putri Rahima. Ternyata benar, saat melihat kecantikan putri Kemas Mahmud itu, Sultan Muhammad berdecak kagum.
“Oh, Putri Rahima benar-benar gadis yang sempurna. Kecantikannya sungguh luar biasa dan tiada tandingannya di negeri ini,” gumam Sultan Muhammad dengan kagum.
Kecantikan Putri Rahima telah memikat hati Sultan Muhammad. Ia pun tak sabar lagi ingin segera meminangnya. Setelah kembali ke istana, sultan muda itu segera mengumpulkan beberapa pembesar kerajaan dan kemudian mengutus mereka untuk meminang Putri Rahima.
“Maaf, Pak Kemas. Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan pinangan Tuan kami Sultah Muhammad untuk putri Pak Kemas,” kata salah seorang utusan.
“Kami menyambut baik atas niat baik raja kalian. Tapi, berilah kami waktu satu hari untuk merundingkan masalah ini bersama keluarga kami,” pinta Pak Kemas, “Tuan-tuan boleh kembali ke mari besok untuk mengetahui keputusan dari keluarga kami.”
Para utusan Sultan Muhammad pun berpamitan pulang ke istana dan pada esok harinya mereka kembali ke rumah Kemas Mahmud.
Setelah sah menjadi permaisurinya, Sultan Muhammad pun memboyong Putri Rahima ke istana. Sejak itulah, putri semata wayang Kemas Mahmud itu tinggal di istana dengan gelar Nyi Mas Rahima. Ia pun hidup berbahagia dan saling mengasihi dengan suaminya.
Sultan Muhammad kerap meninggalkan istana karena harus bertempur melawan penjajah Belanda. Hal itu membuat perhatian terhadap keluarganya semakin berkurang. Untung Nyi Mas Rahima seorang ibu yang bijaksana. Ia selalu memberi pengertian kepada putranya yang sudah mulai tumbuh menjadi kanak-kanak yang cerdas tentang perjuangan sang Ayah.
“Putraku, Adipati. Ayahmu adalah seorang pejuang. Itulah sebabnya ia selalu pergi meninggalkan kita demi membela tanah air yang tercinta ini,” ujar Nyi Mas Rahima.
Nasehat tersebut selalu Nyia Mas Rahima sampaikan kepada putranya setiap kali sang Ayah pergi berperang. Maka, jadilah Pangeran Adipati sebagai anak yang berjiwa kesatria. Ia bahkan seringkali berceloteh ingin membantu ayahnya mengusir penjajah Belanda.
Nyi Mas Rahima terus melantunkan doa demi keselamatan sang Suami dan pasukannya. Namun, tak jarang ia merasa cemas menunggu kepulangan suaminya dari medan perang.
Ketika suaminya sedang meninggalkan istana, serdadu Belanda kerap berkeliaran di sekitar istana. Ia merasa bahwa tanah airnya semakin terancam. Di samping itu, ia juga selalu mencemaskan keselamatan suaminya yang sudah beberapa hari belum kembali dari medan perang. Perasaan-perasaan itu terus membebani batinnya. Di saat kandungannya semakin besar, ia menjadi lemah dan sering sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal dunia sebelum melahirkan anak keduanya.
Kepergian sang Bunda memberi duka yang sangat dalam bagi Pangeran Adipati. Ditambah pula kabar tentang keberadaan sang Ayah belum juga diketahui rimbanya. Untuk mengenang Nyi Mas Rahima yang ramah, penyayang, dan selalu mendukung perjuangan suaminya, para keluarga istana kemudian membuatkan makam yang dikelilingi tembok untuk Nyi Mas Rahima. Mereka pun terus menjaga dan merawat makam itu.
Sementara itu, kehadiran serdadu Belanda membuat benteng di sekitar istana semakin terancam. Akhirnya, keluarga istana memutuskan untuk mengungsi ke hulu Batang Hari Jambi dengan memboyong Pangeran Adipati. Suatu malam, mereka pun meninggalkan istana secara diam-diam. Keesokan hari, para serdadu Belanda pun segera menempati istana yang telah kosong. Betapa terkejutnya mereka saat melihat sebuah makam yang bersih dan indah.
“Hai, makam siapakah yang indah ini?” tanya salah seorang serdadu Belanda.
“Entahlah. Tapi, saya yakin penghuni makam ini pasti bukanlah orang sembarangan,” jawab serdadu Belanda lainnya.
Penasaran ingin mengetahui perihal makam itu, salah seorang serdadu Belanda mencari keterangan kepada warga di sekitar istana.
“Makam siapakah yang ada di dekat istana itu?” tanya serdadu itu kepada salah seorang warga.
“Makam itu adalah milik seorang putri yang ayu bernama Nyi Mas Rahima, permaisuri Sultan Muhammad. Ayu fisiknya, juga ayu batinnya. Ia selalu mendukung perjuangan suaminya dengan tulus ikhlas dan rela mengorbankan kebahagiaannya berkumpul bersama keluarganya,” jelas warga itu.
Sejak itulah, para serdadu Belanda menyebut makam itu dengan sebutan Makam Putri Ayu. Hingga kini, keindahan dan kebersihan Makam Putri Ayu masih tetap terjaga. Makam itu dikelilingi tembok berwarna kuning dan beratapkan seng. Batu nisannya terbuat dari kayu bulian berwarna merah tua dan makamnya sendiri terbuat dari marmer berwarna biru. Dulu, makam Makam Putri Ayu berada di kawasan Benteng atau berdekatan dengan Masjid Al Falah Kota Jambi. Pada tahun 1980, makam itu dipindahkan ke Jalan Kemboja, RT 07, Kelurahan Sungaiputri, Telanaipura, Kota Jambi.



Asal Usul Suku Melayu Timur di Kuala Tungkal
Jambi – Indonesia

Ratusan tahun silam, di Negeri Melabang, Mindanau (kini menjadi sebuah wilayah di Filipina), berdiri sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja bernama Sultan Iskandar Bananai. Sang Raja memiliki dua orang putra yang bernama Patukan (sulung) dan Mata Empat (bungsu). Kedua pangeran itu memiki tabiat yang bertolak belakang. Pangeran Patukan adalah seorang pemuda tampan yang baik hati, berbudi luhur, dan suka menolong. Sedangkan, Pangeran Mata Empat memiliki sifat yang sangat buruk, kasar, tidak sopan, dan sifat-sifat yang tidak terpuji lainnya. Raja sudah menasehati anak bungsunya itu, tapi kelakuan Pangeran Mata Empat justru semakin menjadi-jadi. Sang Raja sangat malu dengan sifat dan kelakuan putranya itu.
Suatu hari, Sultan Iskandar Bananai memanggil seluruh panglima dan penasehatnya untuk bermusyawarah di ruang sidang istana.
“Wahai, para panglima dan penasehat kerajaan! Kalian pasti sudah tahu dengan sifat dan perilaku putraku, Mata Empat. Aku mengumpulkan kalian untuk membicarakan masalah ini,” kata sang Raja, “Terus terang, aku sudah tidak sanggup lagi mengatasi kelakuannya. Apakah kalian mempunyai pandangan mengenai hal ini?”
Mendengar pertanyaan sang Raja, para panglima dan penasehat kerajaan tertunduk diam. Mereka semua berpikir keras untuk mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut. Beberapa saat kemudian, salah seorang penasehat kerajaan angkat bicara.
“Ampun, Baginda. Izinkanlah hamba menyampaikan saran untuk mengatasi kelakuan putra Baginda,” kata penasehat kerajaan itu.
“Apakah saranmu itu? Katakanlah!” jawab sang Raja dengan tidak sabar.
“Ampun, Baginda. Jika hamba boleh menyarankan, alangkah baiknya jika Pangeran Mata Empat diasingkan dari negeri ini,” ungkap penasehat kerajaan itu.
“Apa maksudmu diasingkan?” tanya sang Raja bingung.
“Ampun Baginda jika kata-kata hamba terlalu kasar. Maksud hamba, barangkali akan lebih baik jika Pangeran Mata Empat diperintahkan untuk pergi merantau mencari pengalaman,” jelas penasehat itu.
Salah seorang panglima bergegas memanggil sang Pangeran. Tidak lama kemudian, panglima itu pun kembali bersama Pangeran Mata Empat. Saat tiba di ruang sidang, sang Pangeran terlihat kebingungan melihat semua pembesar kerajaan sedang berkumpul menghadap ayahandanya.
Pangeran Patukan adalah pemuda yang penurut. Maka, ketika sang Ayah memintanya pergi merantau, ia tidak menolak. Bahkan, ia menyambutnya dengan senang hati. Keesokan harinya, kedua pangeran itu bersiap-siap untuk berlayar. Pangeran Patukan diberi sebuah kapal layar yang dilengkapi perbekalan makanan serta beberapa pengawal dan dayang-dayang. Sementara itu, Pangeran Mata Empat diberi sebuah rakit yang juga dilengkapi dengan perbekalan, pengawal, dan dayang-dayang. Ketika keduanya hendak berangkat, Sultan Iskandar Bananai bersama permaisuri dan segenap rakyat berbondong-bondong menuju pelabuhan untuk melepas kepergian dua pangeran itu.
“Semoga kalian berhasil, wahai putra-putraku,” ucap sang Raja melepas kedua putranya dengan doa.
“Terima kasih, Ayahanda! Nanda pun berharap agar Ayah dan Ibunda tetap menjaga kesehatan,” kata Pangeran Patukan seraya mencium tangan kedua orang tuanya.
Sementara itu, Pangeran Mata Empat sudah berada di atas rakit tanpa menyalami ayah dan ibundanya. Bahkan, ketika rakit itu mulai meninggalkan pelabuhan, ia berkacak pinggang, tanpa melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Rupanya, ia masih kesal dengan keputusan ayahnya yang mengharuskan dirinya pergi meninggalkan istana. Lain halnya dengan Pangeran Patukan, ia terus melambaikan tangan kepada orang-orang yang melepasnya di pelabuhan hingga kapal layarnya hilang dari pandangan mata.
Kedua pangeran itu berlayar terpisah tanpa tentu arah untuk mencari keberuntungan masing-masing. Setelah berhari-hari berlayar, kedua putra raja itu terombang-ambing di tengah laut. Suatu ketika, rakit Pangeran Empat Mata terhempas badai hingga hancur berkeping-keping. Seluruh penumpangnya jatuh ke laut dan terbawa arus gelombang. Untung ia berhasil meraih salah satu potongan rakitnya. Ia pun terapung-apung di atas potongan rakit itu hingga akhirnya terdampar di Tanah Merah (kini dekat Palembang). Konon, Pangeran Empat Mata menetap di daerah itu hingga akhir hayatnya.
Sementara itu, Pangeran Patukan juga mengalami nasib sama. Kapal layarnya dihempas badai dan gelombang besar hingga hancur. Seluruh pengawal dan dayang-dayangnya tenggelam di tengah laut. Sang Pangeran pun dapat menyelamatkan diri hingga terdampar di Pulau Lingga. Untung nasib baik berpihak kepadanya karena ia berhasil ditemukan oleh Raja Lingga dan kemudian dibawa ke istana.
“Hai, anak muda siapa kamu dan dari mana asalmu?” tanya Raja Lingga.
“Ampun, Baginda. Hamba Pangeran Patukan, putra sulung Sultan Iskandar Bananai dari Negeri Mindanau,” jawab sang Pangeran.
Pangeran Patukan kemudian menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga terdampar di Pulau Lingga. Mendengar cerita itu, Raja Lingga merasa amat gembira.
“Oh, kebetulan sekali, Pangeran. Sudah bertahun-tahun kami menikah, tapi sampai sekarang Tuhan belum juga mengaruniai kami seorang putra,” ungkap Raja Lingga, “Jika Pangeran berkenan, aku ingin mengangkat Pangeran sebagai putraku. Setelah aku wafat kelak, engkaulah yang akan menggantikanku sebagai raja di negeri ini.”
Mulanya, Pangeran Patukan bingung atas permintaan Raja Lingga itu. Di negerinya, ia juga diharapkan untuk menjadi pengganti ayahandanya sebagai raja. Namun, setelah mempertimbangkan bahwa Raja Lingga telah menyelamatkannya, maka ia pun menerima permintaan tersebut. Sejak itulah, Pangeran Patukan tinggal di istana dan menjadi anak angkat Raja Lingga.
Beberapa tahun kemudian, Raja Lingga wafat. Pangeran Patukan pun dinobatkan sebagai Raja Lingga yang baru. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dalam waktu singkat negeri itu menjadi makmur dan sejahtera. Ia pun amat dicintai oleh rakyatnya.
Suatu hari, berita tentang Pangeran Patukan menjadi Raja Lingga sampai juga ke Negeri Mindanau. Seluruh rakyat Mindanau menyambut gembira kabar tersebut, terutama Sultan Iskandar Bananai dan permaisurinya. Banyak di antara rakyat Mindanau yang ingin pindah ke Pulau Lingga untuk mengabdi kepada Pangeran Patukan. Maka, dengan izin Sultan Iskandar Bananai, penduduk Mindanau pun mulai berangsur-angsur pindah ke Negeri Lingga.
Semasa perpindahan penduduk Mindanau ke Pulau Lingga, sebagian di antara mereka ada yang tersesat sampai ke Kuala Tungkal akibat tidak tahu arah. Salah satunya adalah adalah Datuk Kedanding bersama keluarganya. Konon, Datuk Kedanding inilah yang dipercaya sebagai nenek moyang orang-orang Suku Melayu Timur yang bermukim di daerah Kuala Tungkal.



Putri Rainun dan Rajo Mudo
Jambi - Indonesia

Dahulu, di Jambi ada seorang putri bangsawan bernama Putri Rainun. Ia adalah gadis yang cantik, anggun, dan memiliki perangai yang baik. Kecantikan dan keelokan budinya kerap menjadi buah bibir. Sudah banyak pemuda maupun putra bangsawan yang datang melamarnya, namun semuanya ditolak. Rupanya, Putri Rainun telah memiliki kekasih bernama Rajo Mudo, seorang pemuda tampan dari kalangan orang biasa. Selain tampan, pemuda dambaan hati sang putri itu juga memiliki sifat yang baik, alim, dan berilmu.
Suatu waktu, Rajo Mudo berniat pergi merantau untuk menambah ilmu pengetahuannya. Niat itu pun ia sampaikan kepada kekasihnya, Putri Rainun.
“Wahai Dinda, permata hati Kanda. Kanda ingin ke negeri seberang untuk menimba ilmu,” kata Rajo Mudo, “Jika Dinda mengizinkan, Kanda akan berlayar dengan kapal yang akan berangkat besok pagi.”
“Iya, Kanda. Dinda merestui kepergian Kanda. Tapi, jangan lupa cepat kembali, Dinda tidak ingin berlama-lama berpisah dengan Kanda,” ujar Putri Rainun.
“Baiklah, Dinda. Kanda akan segera kembali. Jika kita memang berjodoh, Tuhan pasti akan mempertemukan kita kembali,” kata Rajo Mudo.
Keesokan harinya, Rajo Mudo pun berlayar menuju ke negeri seberang. Putri Rainun, tak kuasa menahan air mata melepas kepergian kekasih hatinya. Putri cantik itu pun baru meninggalkan pelabuhan setelah kapal yang ditumpangi Rajo Mudo hilang dari pandangannya.
Berita tentang kepergian Rajo Mudo pun tersebar. Tentu saja berita tersebut membuat banyak pemuda merasa gembira karena mendapat kesempatan untuk mendapatkan Putri Rainun. Mereka pun berlomba-lomba merayu untuk mengambil hati sang Putri. Namun karena keteguhan sang Putri mempertahankan cintanya kepada Rajo Mudo, semua rayuan para pemuda itu ditampiknya.
Waktu terus berjalan. Sudah berbulan-bulan Rajo Mudo berada di perantauan, namun tak ada kabar apapun tentang dirinya. Putri Rainun pun mulai cemas. Hatinya selalu gelisah menanti kedatangan kekasihnya. Sebagai obat pelipur lara, sang putri mengisi hari-harinya dengan mengayak padi.
Suatu hari, seorang pemuda melintasi rumah Putri Rainun. Pemuda yang bernama Biji Kayo itu terpikat ketika melihat kecantikan sang Putri. Biji Kayo adalah anak orang kaya raya, tetapi memiliki tabiat yang buruk. Ia dikenal sebagai lelaki hidung belang yang suka mengganggu gadis-gadis. Memang, ia amat pandai membujuk dan mengambil hati orang lain.
Keesokan harinya, Biji Kayo mendatangi rumah Putri Rainun. Namun, ia tidak langsung menyampaikan lamarannya kepada sang Putri. Ia tahu bahwa sang Putri sudah punya kekasih, yakni Rajo Mudo. Untuk itu, ia mendekati ibunda Putri Rainun. Dengan bujuk rayuannya,  ia pun berhasil menghasut ibunda sang Putri.
“Baiklah, Biji Kayo. Aku akan mencoba membujuk putriku agar mau menerima lamaranmu,” ujar ibu Putri Rainun.
Mendapat jawaban itu, Biji Kayo tersenyum lalu berpamitan pulang ke rumahnya. Pada malam harinya, sang ibunda mulai membujuk putrinya.     
“Ketahuilah, Putriku! Pemuda yang bernama Biji Kayo itu anak orang kaya. Ibu pikir, ia sangat cocok menjadi pendamping hidupmu daripada Rajo Mudo,” ujar sang ibu, “Ia seorang pemuda yang serba berkecukupan, sedangkan Rajo Mudo hanya seorang rakyat biasa yang serba kekurangan. Lagi pula, Rajo Mudo tidak ada kabar beritanya hingga saat ini. Atau jangan-jangan, dia telah menikah dengan gadis lain di negeri seberang sana.”
“Bu, tolong jangan banding-bandingkan Biji Kayo dengan Rajo Mudo,” ujar Putri Rainun, “Meskipun Rajo Mudo tak memiliki harta yang melimpah, ia pemuda yang baik hati. Saya amat mencintainya, Bu.”
Demikian seterusnya, Putri Rainun selalu menolak lamaran Biji Kayo. Namun, ia terus dibujuk dan dirayu oleh ibunya. Demi membahagiakan ibunya, maka terpaksalah ia menerima lamaran tersebut. Seminggu kemudian, pernikahan mereka pun dilangsungkan dengan meriah. Di atas pelaminan, Biji Kayo terlihat tersenyum bahagia, sementara Putri Rainun tampak sedih. Ia merasa amat bersalah sekali karena telah mengkhianati cinta Rajo Mudo.
Usai menikah, pasangan pengantin baru itu tinggal di sebuah rumah mewah. Namun, Putri Rainun tak mau bertegur sapa dengan Biji Kayo. Bahkan, ia tidak mau tidur satu kamar dengan lelaki yang telah menjadi suaminya itu.
Sementara itu, Rajo Mudo telah kembali dari perantauan. Hatinya pun hancur berkeping-keping saat mengetahui kekasihnya telah menikah dengan lelaki lain. Ia pun mengundang Putri Rainun untuk bertemu di suatu tempat. Namun, hanya seorang dayang sang Putri yang datang menemuinya.
“Hai, Dayang. Mana Putri Rainun?” tanya Rajo Mudo.
“Maaf, Tuan. Tuan Putri malu bertemu dengan Tuan. Makanya, beliau mengutus saya,” jawab dayang itu, “Kalau boleh tahu, kenapa Tuan ingin bertemu Tuan Putri?”
Rajo Mudo menghela nafas sejenak. Ia lalu menjawab pertanyaan itu.
“Tidak apa-apa, Dayang. Sampaikan saja salamku kepada Putri,” jawab Rajo Mudo, “Oh iya, tolong berikan cincin ini kepada Tuan Putri.”
“Baik, Tuan,” jawab dayang itu seraya berpamitan.
Setiba di rumah tuannya, sang dayang langsung menyerahkan cincin itu kepada Putri Rainun. Betapa sedihnya sang Putri saat menerima cincin itu. Ia berpikir bahwa Rajo Mudo merasa kecewa karena dikhianati cintanya. Padahal, dirinya menikah Biji Kayo karena terpaksa.
“Maafkan Dinda. Dinda tidak bermaksud mengkhianati Kanda. Dinda melakukan ini karena terpaksa,” kata Putri Rainum dalam hati.
Merasa telah mengecewakan Rajo Mudo, Putri Rainun pun bunuh diri. Sang ibunda menjerit histeris ketika mengetahui putrinya telah mati. Namun, ia tampak terkejut ketika melihat ada cincin pemberian Rajo Mudo melingkar di jari manis anaknya. Sang ibu pun sadar bahwa ternyata putrinya menikah terpaksa dengan Biji Kayo. Ia merasa amat menyesal atas pernikahan putrinya tersebut.
Saat upacara pemakaman Putri Rainun berlangsung, Rajo Mudo pun hadir. Ia sangat terpukul atas kejadian yang menimpa kekasihnya. Usai upacara pemakaman, ketika seluruh pelayat sudah meninggalkan areal makam, Rajo Mudo masih duduk termenung di samping kuburan sang Putri. Ia merasa bahwa suatu hari nanti kekasihnya akan hidup kembali.
Suatu hari, Rajo Mudo kembali menjenguk makam Putri Rainun. Tiba-tiba muncul setangkai bunga ilalang dari makam sang Putri. Bunga ilalang itu kemudian diterbangkan angin sehingga melayang-layang di udara.
“Aku yakin, bunga ilalang itu pastilah penjelmaan Putri Rainun,” gumam Rajo Mudo.
Rajo Mudo pun segera mengejar bunga ilalang itu hendak menangkapnya. Namun, seorang pelayan setia Putri Rainun tiba-tiba muncul dan mendahuluinya menangkap bunga ilalang itu.
“Sebaiknya bunga ilalang ini kita bawa ke Nenek Rubiah yang sakti itu,” ujar si dayang.
Akhirnya, Rajo Mudo dan si dayang membawa bunga ilalang itu ke rumah Nenek Rubiah. Setiba di sana, mereka pun menceritakan semua peristiwa yang terjadi di makam Putri Rainun. Setelah itu, Rajo Mudo meminta kepada Nenek Rubiah agar mengubah bunga ilalang menjadi Putri Rainun.
“Nek, tolong ubah bunga ilalang ini! Aku yakin bunga ini penjelmaan Putri Rainun,” pinta Rajo Mudo.
Nenek Rubiah pun segera memanterai bunga ilalang itu. Sungguh ajaib, dari kelopak bunga itu ilalang itu muncullah Putri Rainun. Alangkah senangnya hati Rajo Mudo. Ia pun langsung memeluk kekasihnya itu. Akhinya, kedua pasangan kekasih tersebut menikah dan mereka pun hidup berbahagia selamanya.




Dahulu kala ada seorang yang di segani di kerajaan melayu Jambi.orang ini bernama Tan Taleni. Dulunya ia seorang panglima perang dari negri Keling yang sekarang dikaenal dengan India. Lama tinggal di melayu jambi.Tan Taleni menikah dengan seorang gadis dan menetap disana. Dengan ilmu beladiri yang di milikinya, Tan Teleni menjadi seorang jagoan yang di segani. Selang beberapa bulan sejak pernikahannya, istri Tan Teleni menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Di panggilah ahli nujum untuk memeriksa kehamilan itu.
 “istri tuan ku memang sedang mengandung seorang bayi laki-laki. Kelak anak ini akan tumbuh menjadi seorang yang perkasa. Namun, saya harap tuan berhati-hati karena anak inilah yang akan membunuh tuanku,”ramalan ahli junum pada Tan Telenisetelah memeriksa kehamilan istrinya.

Betapa terkejut Tan Teleni mendengan ramalan ahli junum. Walaupun itu hanyalah sebuah ramalan, tetapi ahli junum tersebut sabgatlah terkenal dengan ramalannya yang tidak pernah meleset. Sejak saat itulah, Tan Teleni menyiapka peti kayu yang sangat kuat. Di peti tersebut, terukir nama anak tersebut, yaitu Bujang Jambi. Kelak,setelah bayi itu lahir, Tan Teleni segera meletakkannya di dalam peti dan menghanyutkannya ke laut.

“Semoga anak ini terdampar di negeri yang sangat jauh sehingga tidak akan mengetahui siapa orang tua yang sebenarnya,”piker Tan Teleni ketika membuang bayi itu kelaut. Berhari-hari lamanya peti Bujang Jambi terapung-apung terbawa ombak, hingga akhirnya terdampar di negri Siam yang sekarang terkenal dengan Thailand.

Putra tersebut ditemukan oleh putra raja Siam yang saat itu sedang memancing. Dengan diusung oleh para pengawal kerajaan, peti berisi bayi Bujang Jambi dibawa menuju istanauntuk dilaporkan kepada Raja Siam.

Melihat bayi Bujang Jambi,Raja Siam,”ini pasti bukan anak orang sembarangan. Dari peti yang membawanya, bias dipastikan kalau ia anak seorang bangsawan. Aku akan mengangkat bayi ini sebagai anak angkat ku. Namun aku mohon pada semua yang ada disini untuk merahasiakan asal-usul anak ini hingga ia besar nanti.”

Raja Siam merawat Bujang Jambi seperti ia merawat anaknnya sendiri. Bujang Jambi di besarkan denagn kasih sayang. Namun,betapa pum orang berusaha menyembunyikan asal-usul Bujang Jambi, pada suatu hari akan terbongkar juga. Hal ini berawal ketika Bujang Jambi sudah agak besar dan bisa bermain dengan anak-anak sebayanya. Beberapa anak itu selalu mengejeknya dengan sebuatan “anak pungut”.
Tentu saja Bujang Jambi penasaran,”;apakah benar aku anak pungut?kalau benar siapa orang tua ku yang sebenarnya?” 
Hal ini selalu mengganggu pikiran bujang jambi. Diam-diam ia menyelidiki siapa dirinya sebenarnya. Dalam waktu yang cukup lama, akhirnya Bujang Jambi tau kalau dirinya adalah anak Tan Teleni dari negri Melayu Jambi yang di buang. Saying nya reputasi Tan Teleni di Negri Siam adalah orang yang jahat. Ia menggunakan kekuatannya untuk memeras rakyat jelata dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya untuk kepentingan sendiri.

Didikan Raja Siam yang diterima Bujang Jambi selama ini telah menjadikannya seorang kesatria perkasa, yang selalu ingin membelakebenaran. Oleh karena itu, begitu ia medengar kabar tidakadilan di negri Melayu Jambi, jiwa kepahlawanannya terpanggil untuk membela rakyat kecil disana. Ia tidak perduli bahwa yang harus dilawanya adalah ayah kandungnya sendiri.
Dengan seizin raja Siam, Bujang Jambi membawa pasukkan perang kerajaan Siam untuk memeberantas gerombolan Tan Teleni di Melayu Jambi. Sesampainya disana, kapal Bujang Jambi merapat di pelabuhan Muaro Jambi, ibu kota Kerajaan Melayu Jambi. Tan Teleni yang mengetahui yang datang adalah Bujang jambi, ia teringat pada ramalan ahli nujum belasan tahun yang lalu.
 “Mungkin inilah saatnya aku akan mati di tangan anakku sendiri,”piker Tan Teleni. Namun, sebahgai bekas panglima perang Negri Keling, ia pantang menyerah begitu saja. Dengan gagah berani, dihadapinya tantangan Bujang Jambi, walaupun kekuatan pasukan keduanya tidak seimbang. Pasukan Bujang Jambi lebih banyak dengan persenjataan yang lengkap. Dalam waktu yang tak begitu lama, pasukan Tan Teleni bisa dengan mudah dikalahkan. Tan Teleni pun mati ditangan anaknnya sendiri,

Putri Tangguk Cerita Rakyat Dari Jambi


Alkisah, di Negeri Bunga, Kecamatan Danau Kerinci Jambi, ada seorang perempuan bernama Putri Tangguk. Ia hidup bersama suami dan tujuh orang anaknya. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, ia bersama suaminya menanam padi di sawahnya yang hanya seluas tangguk. Meskipun hanya seluas tangguk, sawah itu dapat menghasilkan padi yang sangat banyak. Setiap habis dipanen, tanaman padi di sawahnya muncul lagi dan menguning. Dipanen lagi, muncul lagi, dan begitu seterusnya. Berkat ketekunannya bekerja siang dan malam menuai padi, tujuh lumbung padinya yang besar-besar sudah hampir penuh. Namun, kesibukan itu membuatnya lupa mengerjakan pekerjaan lain. Ia terkadang lupa mandi sehingga dakinya dapat dikerok dengan sendok. Ia juga tidak sempat bersilaturahmi dengan tetangganya dan mengurus ketujuh orang anaknya.

Pada suatu malam, saat ketujuh anaknya sudah tidur, Putri Tangguk berkata kepada suaminya yang sedang berbaring di atas pembaringan.

Beberapa saat kemudian, mereka pun tertidur lelap karena kelelahan setelah bekerja hampir sehari semalam. Ketika malam semakin larut, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Hujan itu baru berhenti saat hari mulai pagi. akibatnya, semua jalan yang ada di kampung maupun yang menuju ke sawah menjadi licin.

Usai sarapan, Putri Tangguk bersama suami dan ketujuh anaknya berangkat ke sawah untuk menuai padi dan mengangkutnya ke rumah. Dalam perjalanan menuju ke sawah, tiba-tiba Putri Tangguk terpelesat dan terjatuh. Suaminya yang berjalan di belakangnya segera menolongnya. Walau sudah ditolong, Putri Tangguk tetap marah-marah.

“Jalanan kurang ajar!” hardik Putri Tangguk.

“Baiklah! Padi yang aku tuai nanti akan aku serakkan di sini sebagai pengganti pasir agar tidak licin lagi,” tambahnya.

Setelah menuai padi yang banyak, hampir semua padi yang mereka bawa diserakkan di jalan itu sehingga tidak licin lagi. Mereka hanya membawa pulang sedikit padi dan memasukkannya ke dalam lumbung padi. Sesuai dengan janjinya, Putri Tangguk tidak pernah lagi menuai padi di sawahnya yang seluas tangguk itu. Kini, ia mengisi hari-harinya dengan menenun kain. Ia membuat baju untuk dirinya sendiri, suami, dan untuk anak-anaknya. Akan tetapi, kesibukannya menenun kain tersebut lagi-lagi membuatnya lupa bersilaturahmi ke rumah tetangga dan mengurus ketujuh anaknya.

Pada suatu hari, Putri Tangguk keasyikan menenun kain dari pagi hingga sore hari, sehingga lupa memasak nasi di dapur untuk suami dan anak-anaknya. Putri Tangguk tetap saja asyik menenun sampai larut malam. Ketujuh anaknya pun tertidur semua. Setelah selesai menenun, Putri Tangguk pun ikut tidur di samping anak-anaknya.

Pada saat tengah malam, si Bungsu terbangun karena kelaparan. Ia menangis minta makan. Untungnya Putri Tangguk dapat membujuknya sehingga anak itu tertidur kembali. Selang beberapa waktu, anak-anaknya yang lain pun terbangun secara bergiliran, dan ia berhasil membujuknya untuk kembali tidur. Namun, ketika anaknya yang Sulung bangun dan minta makan, ia bukan membujuknya, melainkan memarahinya.

Keesokan harinya, ketujuh anaknya bangun dalam keadaan perut keroncongan. Si Bungsu menangis merengek-rengek karena sudah tidak kuat menahan lapar. Demikian pula, keenam anaknya yang lain, semua kelaparan dan minta makan. Putri Tangguk pun segera menyuruh suaminya mengambil padi di lumbung untuk ditumbuk. Sang Suami pun segera menuju ke lumbung padi yang berada di samping rumah. Alangkah terkejutnya sang Suami saat membuka salah satu lumbung padinya, ia mendapati lumbungnya kosong.

“Hei, ke mana padi-padi itu?” gumam sang Suami.

Dengan perasaan panik, ia pun memeriksa satu per satu lumbung padinya yang lain. Namun, setelah ia membuka semuanya, tidak sebutir pun biji padi yang tersisa.

Sang Suami pun tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya tercengang penuh keheranan menyaksikan peristiwa aneh itu. Dengan perasaan sedih, Putri Tangguk dan suaminya pulang ke rumah. Kakinya terasa sangat berat untuk melangkah. Selama dalam perjalanan, Putri Tangguk mencoba merenungi sikap dan perbuatannya selama ini. Sebelum sampai di rumah, teringatlah ia pada sikap dan perlakuannya terhadap padi dengan menganggapnya hanya seperti pasir dan menyerakkannya di jalan yang becek agar tidak licin.

“Ya... Tuhan! Itukah kesalahanku sehingga kutukan ini datang kepada kami?” keluh Putri Tangguk dalam hati.

Sesampainnya di rumah, Putri Tangguk tidak dapat berbuat apa-apa. Seluruh badannya terasa lemas. Hampir seharian ia hanya duduk termenung. Pada malam harinya, ia bermimpi didatangi oleh seorang lelaki tua berjenggot panjang mengenakan pakaian berwarna putih.

“Wahai Putri Tangguk! Aku tahu kamu mempunyai sawah seluas tangguk, tetapi hasilnya mampu mengisi dasar Danau Kerinci sampai ke langit. Tetapi sayang, Putri Tangguk! Kamu orang yang sombong dan takabbur. Kamu pernah meremehkan padi-padi itu dengan menyerakkannya seperti pasir sebagai pelapis jalan licin. Ketahuilah, wahai Putri Tangguk...! Di antara padi-padi yang pernah kamu serakkan itu ada setangkai padi hitam. Dia adalah raja kami. Jika hanya kami yang kamu perlakukan seperti itu, tidak akan menjadi masalah. Tetapi, karena raja kami juga kamu perlakukan seperti itu, maka kami semua marah. Kami tidak akan datang lagi dan tumbuh di sawahmu. Masa depan kamu dan keluargamu akan sengsara. Rezekimu hanya akan seperti rezeki ayam. Hasil kerja sehari, cukup untuk dimakan sehari. Kamu dan keluargamu tidak akan bisa makan jika tidak bekerja dulu. Hidupmu benar-benar akan seperti ayam, mengais dulu baru makan....” ujar lelaki tua itu dalam mimpi Putri Tangguk.

Putri Tangguk belum sempat berkata apa-apa, orang tua itu sudah menghilang. Ia terbangun dari tidurnya saat hari mulai siang. Ia sangat sedih merenungi semua ucapan orang tua yang datang dalam mimpinya semalam. Ia akan menjalani hidup bersama keluarganya dengan kesengsaraan. Ia sangat menyesali semua perbuatannya yang sombong dan takabbur dengan menyerakkan padi untuk pelapis jalan licin. Namun, apalah arti sebuah penyesalan. Menyesal kemudian tiadalah guna.



Rasanya banyak masyarakat Kota Jambi yang belum tahu bahwa kota ini memiliki cerita legenda mirip Tangkuban Perahu di Jawa Barat. Legenda Cik Upik namanya. Cerita yang dianggap dongeng itu begitu lekat bagi masyarakat Kampung Danau Sipin, Kecamatan Telanaipura.
Tak hanya sekedar cerita atau dongeng. Bagi masyarakat Danau Sipin, kisah Cik Upik itu punya bukti. Mereka menunjuk daerah pinggiran danau, tepatnya di belakang Kantor Gubernur Jambi, atau persisnya di dekat bekas Restoran Batanghari, merupakan bekas taman bermain Cik Upik. Di sana pula Cik Upik kerap mandi setiap pagi dan sore.
Lantas, siapa Cik Upik itu ? Tidak ada referensi tertulis mengenai legenda ini. Ceritanya hanya tersiar dari mulut ke mulut. Namun menurut kisah seorang tetua Kampung Danau Sipin, Marzuki (81), Cik Upik adalah seorang wanita cantik asal Padang, Sumatera Barat (Sumbar) yang terdampar di daerah Danau Sipin.
Cik Upik tidak sengaja datang ke daerah itu. Konon, dia menumpang sebuah kapal yang berlayar dari Padang. Setibanya di Sungai Batanghari, tepatnya di kawasan Danau Sipin sekarang, kapal itu terbalik. Bekas badan kapal yang ukurannya sangat besar itu pulalah yang dipercaya masyarakat menjadi daratan Danau Sipin yang sekarang mereka diami.
Sejak saat itu, Cik Upik tinggal di Danau Sipin. Dia sering bermain di taman. Masyarakat Danau Sipin yakin, sisa-sisa taman itu masih ada hingga sekarang. Namun, lokasi bekas taman tersebut kini sudah ditumbuhi pohon-pohon besar dan semak-belukar, meskipun keindahannya samar-samar masih terlihat.
Menurut Marzuki yang mendapat cerita dari ayah dan kakeknya, dulu tepian Sungai Batanghari sebenarnya sampai ke daerah belakang kantor gubernur. Tapi sungai itu kemudian terbelah, karena bekas kapal Cik Upik yang terbalik lama-kelamaan mengering dan membentuk sebuah daratan.
“Awalnya para awak kapal Cik Upik yang terdampar membuat tempat tinggal dan taman di dekat kapal mereka terbalik. Taman dibuat untuk tempat mereka bersantai,” kisah Marzuki yang ditemui InfoJambi, di rumahnya, di Kampung Danau Sipin, persis di seberang Taman Cik Upik.
Dari cerita turun-menurun, dulunya Taman Cik Upik dikenal sebagai sebuah taman yang sejuk, sehingga ramai didatangi orang untuk bersantai. Taman itu memiliki panjang 45 meter dengan lebar 10 meter. Di tengah taman terdapat sebuah danau kecil yang diberi nama Danau Cik Upik.
Danau Cik Upik memiliki luas sekitar 15 meter x 5 m dengan kedalaman air sekitar empat meter. Air danau itu sangat jernih dan sering digunakan masyarakat zaman dahulu sebagai tempat mandi dan sumber air minum. Bahkan, ada juga yang menjadikan danau kecil itu sebagai tempat memancing ikan.
Tetua Kampung Danau Sipin lainnya, Ibrahim (75), mengungkapkan, Danau Cik Upik merupakan anak dari Danau Sipin. Danau besar yang terbentuk karena kapal yang terbalik tersebut, dulu dikenal dengan nama Danau Pinago. Namun begitu, Ibrahim mengakui sampai sekarang tidak tahu kapan sebenarnya danau-danau itu mulai ada.
Seiring berjalannya waktu, Taman Cik Upik yang jaraknya hanya beberapa meter dari buntut Kantor Gubernur Jambi itu mulai terlupakan. Tidak ada sedikitpun perhatian pemerintah kota terhadap kawasan itu. Taman Cik Upik nyaris hilang tak berbekas. Berpuluh tahun lamanya taman itu hanya dijadikan dermaga oleh penambang perahu.
Ketika Abdurrahman Sayoeti menjadi Gubernur Jambi, dia sempat mengingat kembali keberadaan taman itu. Dia pun ingin menghidupkannya kembali dan menjadikan objek wisata. Gubernur dua periode itu pula yang membuka lagi kawasan tersebut dengan membangun jalan dan mendirikan restoran besar.
Sayangnya, belum sempat Taman Cik Upik dikenal lagi oleh masyarakat Kota Jambi, masa jabatan Abdurrahman Sayoeti keburu berakhir. Alhasil, legenda Taman Cik Upik kembali tenggelam bersama kisah kapalnya yang terbalik di Sungai Batanghari.



Cerita rakyat jambi orang kayo hitam

Rangkayo Hitam merupakan seorang Raja Melayu Jambi yang sangat pemberani dan sakti, saat pemerintahan kerajaan dibawah kepemimpinan kakaknya Rangkayo Pingai, Rangkayo Hitam pernah mencegat upeti yang dikirimkan kakaknya kepada kerajaan Mataram yang waktu itu Kerajaan Melayu Jambi merupakan daerah jajahan kerajaan Mataram. Upeti itu berhasil digagalkan oleh Rangkayo Hitam, karena beliau berpendapat bahwa Kerajaan Melayu Jambi merupakan Kerajaan yang berdaulat dan tidak tunduk kepada Kerajaan manapun..
Mendengar adanya gejolak di Kerajaan Melayu Jambi yang tidak mau mengirimkan upeti ke Kerajaan Mataram dan tentang adanya seorang sakti bernama Rangkayo Hitam yang menggegalkan Upeti tersebut, maka Raja Mataram merencanakan akan melakukan penyerangan ke kerajaan Melayu yang disebut serangan Pamalayu dan segera memerintahkan seorang empu untuk membuat sebuah keris sakti yang akan digunakan untuk membunuh Rangkayo Hitam.
Mendengar hal tersebut, Rangkayo Hitam berangkat menuju Kerajaan Mataram untuk menggagalkan rencana tersebut. Di daerah mataram Rangkayo Hitam bertemu dengan seorang empu yang sedang membuat keris. Rangkayo Hitam bertanya kepada empu untuk siapa keris tersebut, empu itupun menjelaskan bahwa keris tersebut untuk Raja Mataram yang katanya akan digunakan untuk membunuh seorang sakti di Kerajaan Melayu Jambi yang bernama Rangkayo Hitam, saat itu empu juga menjelaskan bahwa keris tersebut dibuat dari tujuh macam besi yang diawali oleh huruf P, dan akan sempurna bila telah dimandikan di tujuh muara.
Rangkayo Hitam pun saat itu juga merebut keris tersebut dari tangan sang empu, dan mengatakan bahwa dialah Rangkayo Hitam. Empu itupun akhirnya tewas di tangan Rangkayo Hitam. Setelah mendapatkan keris, Rangkayo Hitam segera kembali ke Kerajaan Melayu untuk menyiapkan segala sesuatu jika nanti kerajaan Mataram jadi menyerang dan segera ia menyempurnakan keris tersebut di tujuh muara.. Hingga keris tersebut menjadi senjata sakti bagi Rangkayo Hitam.

Rangkayo Hitam sering meletakkan keris tersebut di sanggul rambutnya sehingga orang-orang sering menyebutnya dengan sebutan “Ginjai” yang berarti tusuk konde. Sampai akhirnya keris tersebut diberi nama Keris SIGINJAI.
Struktur Keris Siginjai
1. Bilah Keris (Wilahan)
Bilah keris, yang dalam istilah perkerisan disebut wilahan, adalah bagian utama dari keris. Walaupun wilahan mempunyai bentuk yang beraneka ragam, namun dapat dikelompokkan menjadi dua tipe (dapur), yaitu tipe lurus (dapur leres) dan berkelok (dapur luk). Pada wilahan terdapat gambar atau lukisan yang disebut pamor yang merupakan lambang kesaktian atau kekeramatan keris. Sedangkan, pada pangkal wilahan terdapat ganja, yaitu sudut runcing yang mengarah ke arah mata keris.

Bilah Keris Siginjai panjangnya lebih kurang 39 sentimeter dan berlekuk (luk) 5. Permukaan bilah Keris Siginjai kemungkinan pada mulanya ditutupi lapisan emas murni karena pada saat ini masih terlihat adanya bekas lapisan emas yang terlepas. Lapisan emas itu berfungsi untuk memperindah keris dan yang lebih utama untuk menutupi pamor pada keris yang bermotif flora. Pamor keris ini semakin ke ujung semakin kabur. Pada lekuk pertama hingga keempat pamor itu tampak jelas, namun pada lekuk kelima sampai ke mata keris, pamornya sudah tidak jelas lagi.
Keris Siginjai memiliki dua buah buah ganja, yang salah satunya melengkung ke arah mata keris. Sedangkan, pada sisi terlebar pangkal bilah keris terdapat bentukan yang menjorok ke luar dan memiliki 6 buah tonjolan yang ujungnya runcing, mirip dengan senjata penjepit pada binatang kalajengking. Tonjolan yang terbesar disebut belalai gajah atau keluk kacang.
2. Hulu Keris
Hulu (gagang) Keris Siginjei terbuat dari kayu kemuning yang bagian kepalanya dibuat menjorok ke arah permukaan badan keris. Sedangkan, pada bagian yang dekat dengan wilahan terdapat mendak1 yang berbentuk kelopak bunga teratai. Di atas mendak terdapat 16 buah garis lengkung yang di setiap lengkungannya dipasang sebuah batu mulia, yang terdiri dari 8 buah intan berbentuk segi tiga dan 8 buah berlian berbentuk lonjong (oval). Di bawah setiap intan dan berlian terdapat bidang lengkung yang semakin menyempit ke arah bilah keris. Pada permukaan bidang lengkung tersebut dilapisi dengan emas murni dan diukir hiasan bunga-bunga kecil. Dan, di atas garis lengkung itu terdapat jalinan berbentuk benang-benang email warna hijau dan kuning.
3. Sarung Keris (Wrangka)
Wrangka keris Siginjai terbuat dari kayu kemuning. Sedangkan, pendok2 keris terbuat dari lempengan emas murni yang seluruh permukaannya dihiasi dengan ukiran bermotif flora. Pada wrangka Keris Siginjai ini juga terdapat gayaman berbentuk perahu agak kecil tetapi tebal. Di dekat gambar perahu terdapat lengkungan yang berbentuk sedikit bundar.



Legenda Harimau Makan Durian (Cerita Rakyat Jambi)




    Cerita rakyat ini merupakan cerita rakyat yang berasal dari Provinsi Jambi.Di Provinsi jambi ini terkenal dengan hasil bumi durian adalah salah satunya. Di desa di Provinsi jambi, biasanya musim durian tiba satu atau dua tahun sekali dengan hasil yang berlimpah.
Dahulu kala sewaktu di Provinsi Jambi masih terdiri dari raja – raja atau kerajaan. Di sana Rakyat hidup berdampingan dengan kesejahteraan dan kedamaian berkat pemimpin yang bijaksana. Namun, di tengah kemakmuran itu tiba – tiba ada seekor harimau besar yang menghilangkan kedamaian di negeri tersebut. Harimau tersebut terus menerus menghabisi ternak masyarakat di sekitar sana, dan lama kelamaan juga menyerang warga di daerah sana.
Melihat hal ini, Raja tidak tinggal diam, dia menyuruh seorang abdinya yang sakti untuk mengatasi masalah ini. Setelah itu abdi raja pun mencari sang harimau dan dengan segala kemampuan yang dia punya dikerahkannya. Tetapi apa daya abdi Raja tersebut, bukan melukai harimau tersebut tetapi dy yang terluka parah.
Dengan kondisinya yang terluka parah, abdi Raja ini melarikan diri dari Sang harimau untuk menyembuhkan dirinya terlebih dahulu. Tetapi Sang harimau terus mengejar dia, di tengah pengejaran harimau tersebut. Sampailah mereka di sebuah desa yang bernama Desa Kemingking, yang di sana sekarang ini yang dipenuhi aroma manis dan tanahnya dipenuhi buah yang penuh duri. Karena kelelahan untuk melarikan diri akhirnya dia bertekad untuk melawan Sang harimau dengan segala kemampuan yang dia punyai, walaupun itu harus mengorbankan nyawanya. Pertarungan sengit terjadi antara keduanya. Hingga kemudian sang prajurit menyadari kehadiran buah yang permukaannya dipenuhi duri itu. Ia kemudian menggunakan buah yang di masa kini dikenal dengan nama Durian sebagai senjatanya. Dia terus melempari Sang harimau tersebut dengan durian hingga harimau itu terluka parah, dan di tengah pertempuran itu Sang harimau minta ampun karena dia menyadari bahwa ia telah kalah.
Ia pun berjanji kepada abdi raja tersebut untuk tidak menganggu warga asalkan ia diperbolehkan untuk memakan sebagian dari buah durian atau buah yang penuh duri yang tumbuh di tanah mereka. Karena melihat kesungguhan sang harimau dengan iba, maka Ia pun melepaskan Sang harimau untuk terus hidup tetapi dengan syaratnya tersebut.
Setelah itu, Abdi Raja tersebut kembali ke kerajaannya dengan membawa kemenangan atas Sang harimau. Segala hal yang terjadi dilaporkan kepada Sang Raja  dan dengan perantaraan Sang Raja Ia mengumumkan sumpah Sang Harimau untuk dipatuhi dan dihormati kepada seluruh masyarakat. Sampai saat ini, masyarakat desa Kemingking terus menjaga sumpah Sang harimau. Sehingga meskipun hutan desa Kemingking Dalam termasuk dalam wilayah kekuasaan harimau, harimau-harimau ini tidak pernah menampakkan diri ataupun menyerang warga. Mereka hanya muncul di waktu malam ketika musim durian hampir usai untuk melahap buah-buah terakhir yang telah diperjanjikan untuknya.



Asal Mula Nama Sungai Batanghari Jambi


Sungai Batanghari Jambi ~ Sungai terpanjang di Pulau Sumatera adalah Batang Hari. Kata batang artinya sungai. Namun, orang sudah biasa mengatakan Sungai Batang Hari. Bagian terpanjang Sungai Batang Hari dan muaranya memang terletak di Provinsi Jambi, sebagian kecil bagian hulunya di Provinsi Sumatera Barat.

Pada zaman dahulu, ketika penduduk Negeri Jambi sudah mulai banyak dan mereka memerlukan seorang raja yang bisa memimpin mereka, menyatukan negeri-negeri kecil supaya menjadi satu negeri yang besar, mereka mengadakan sayembara. Barang siapa yang ingin menjadi Raja Negeri Jambi, harus sanggup menjalani ujian, yaitu dibakar dengan api yang menyala berkobar-kobar, direndam dalam sungai selama tiga hari, dan digiling dengan kilang besi yang besar. Penduduk setempat tidak ada yang sanggup menjalani ujian it. Tokoh-tokoh terkemuka dari desa Tujuh Kuto, Sembilan Kuto, Batin Duo Belas, semuanya menyerah pada ujian keempat, yaitu digiling dengan kilang besi.

Tokoh-tokoh masyarakat Negeri Jambi pada waktu itu lalu berespakat untuk mencari orang dari luar Negeri Jambi, yang sanggup menjadi Raja Negeri Jambi melalui ujian yang telah mereka tentukan itu. Perjalanan mencari orang luar Negeri Jambi tidak mudah karena zaman dulu orang harus menempuh jalan setapak, menerobod hutan, menyusuri sungai, menghadapi perampok atau binatang buas. Akhirnya, mereka sampai ke sebuah negeri asing, yaitu India bagian selatan, yang penduduknya kebanyakan hitam-hitam. Mereka lalu menyebutnya Negeri Keling (India). Mereka berjalan mengitari negeri yang besar dan sudah lebih maju itu berhari-hari lamanya, guna mencari orang yang sanggup menjadi raja di Negeri Jambi.

Berkat ketekunan mereka, tidak kenal putus asa, di Negeri Keling itu mereka temukan juga satu orang yang menyatakan kesanggupannya menjadi raja di Negeri Jambi. orang itu sanggup menjalani berbagai ujian dan akan memerintah Negeri Jambi dengan bijaksana, serta berjanji akan membuat rakyat Negeri Jambi aman, makmur, dan sejahtera.
Dengan gembira, calon raja itu pun dibawa pulang ke Negeri Jambi dengan dendang mereka. Perjalanan panjang melewati samudera luas kembali ke Negeri Jambi memakan waktu yang lama. Terkadang cemas menghadapi angin topan gelombang setinggi bukit, hujan deras bercampur petir, siang ataupun malam hari. Terkadang pula, berlayar dengan cuaca cerah, angin tenang mendorong dendang mereka dengan laju, atau di waktu malam terang bulan.

Selama perjalanan itu, mereka juga banyak berbincang-bincang dengan calon raja mereka. Dari pembicaraan itu, tahulah mereka bahwa calon raja itu memang orang yang pintar. Dia mengenal ilmu perbintangan. Terkadang muncul keinginan dari orang-orang Negeri Jambi itu untuk menguji calon raja mereka, dengan banyak pertanyaan. Mereka takut, kalau ada pertanyaan yang sulit calon raja itu akan tersinggung dan membatalkan niatnya menjadi Raja Negeri Jambi.
Deburan ombak, hembusan angin, gelapnya malam atau benderangnya cahaya bulan, teriknya matahari atau gelapnya awan hitam, sudah silih berganti. Perjalanan mereka menuju negeri asal, yaitu Negeri Jambi, belum juga sampai. Mereka juga singgah di Malaka (Malaysia) untuk membeli perbekalan, singgah di Negeri Aceh untuk beristirahat atau menambah persediaan air tawar. Dengan demikian, perjalanan mereka menjadi makin panjang dan makin lam sampai di Negeri Jambi.
Pada suatu hari, rupanya dendang mereka sudah dekat Negeri Jambi. Mereka sudah memasuki muara sungai yang besar sekali, tempat mereka dulu memulai perjalanan mencari calon Raja Jambi. walaupun sungai besar itu sudah mereka kenal, sudah mereka layari dengan dendang, sudah mereka minum airnya, mereka belum mengetahui apa nama sungai besar itu. Apakah calon raja dari Negeri Keling itu mengetahui nama sungai itu atau tidak. Mereka ragu-ragu bertanya pada calon raja dari Negeri Keling itu. Apalagi saat itu mereka rasa kurang sopan bertanya karena hari sudah petang dan pemandangan menjadi remang-remang.

Seorang dari mereka, orang Batin Duo Belas, memberanikan diri juga ketika sudah disepakati oleh yang lain, mengajukan pertanyaan kepada calon raja dari Negeri Keling itu.

“Tuanku calon raja kami. Elok kiranya tuanku jika dapat menjawab sebuah pertanyaan kami.”
“Tanyalah mengenai apa saja.”
“Muara sungai besar yang sedang kita layari ini, apa gerangan namanya Tuan?”
“Haa... Inilah yang bernama muara Kepetangan Hari.”
Ternyata calon raja itu menjawab cepat, padahal sungai itu belum pernah dikenalnya.
Para tokoh masyarakat pencari calon raja itu gembira sekali dan makin kuat tenaganya mendayungkan kayu pengayuhnya menyusuri sungai itu, menyongsong (melawan) arus menuju desa Mukomuko.

Sesampai mereka di Mukomuko, mereka menyebarluaskan kepada setiap orang yang mereka temui. Mereka mengatakan bahwa nama sungai besar di Negeri Jambi itu bernama Kepetangan Hari. Setelah bertahun-tahun lamanya, kemudian berangsur terjadi perubahan menjadi Sungai Petang Hari, dan akhirnya menjadi Batang Hari.


Cerita Rakyat Jambi - Si Kelingking


Si Kelingking adalah seorang pemuda miskin yang tinggal di sebuah kampung di daerah Jambi, Indonesia. Ia dipanggil Kelingking karena ukuran tubuhnya hanya sebesar jari kelingking. Walaupun demikian, ia mempunyai istri seorang putri raja yang cantik jelita. Bagaimana si Kelingking dapat mempersunting seorang putri raja? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Si Kelingking berikut ini.
* * *
Alkisah, di sebuah dusun di Negeri Jambi, ada sepasang suami-istri yang miskin. Mereka sudah puluhan tahun membina rumah tangga, namun belum dikaruniai anak. Segala usaha telah mereka lakukan untuk mewujudkan keinginan mereka, namun belum juga membuahkan hasil. Sepasang suami-istri itu benar-benar dilanda keputusasaan. Suatu ketika, dalam keadaan putus asa mereka berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
“Ya Tuhan Yang Maha Tahu segala yang ada di dalam hati manusia. Telah lama kami menikah, tetapi belum juga mendapatkan seorang anak. Karuniankanlah kepada kami seorang anak! Walaupun hanya sebesar kelingking, kami akan rela menerimanya,” pinta sepasang suami-istri itu.
Beberapa bulan kemudian, sang Istri mengandung. Mulanya sang Suami tidak percaya akan hal itu, karena tidak ada tanda-tanda kehamilan pada istrinya. Di samping karena umur istrinya sudah tua, perut istrinya pun tidak terlihat ada perubahan. Meski demikian, sebagai seorang wanita, sang Istri benar-benar yakin jika dirinya sedang hamil. Ia merasakan ada sesuatu yang bergerak-gerak di dalam perutnya. Ia pun berusaha meyakinkan suaminya dengan mengingatkan kembali pada doa yang telah diucapkan dulu.
“Apakah Abang lupa pada doa Abang dulu. Bukankah Abang pernah memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar diberikan seorang anak walaupun sebesar kelingking?” tanya sang Istri mengingatkan.
Mendengar pertanyaan itu, sang Suami pun termenung dan mengingat-ingat kembali doa yang pernah dia ucapkan dulu.
“O iya, kamu benar, istriku! Sekarang Abang percaya bahwa kamu memang benar-benar hamil. Pantas saja perutmu tidak kelihatan membesar, karena bayi di dalam rahimmu hanya sebesar kelingking,” kata sang Suami sambil mengelus-elus perut istrinya.
Waktu terus berjalan. Tak terasa usia kandungan istrinya telah genap sembilan bulan. Pada suatu malam, sang Istri benar-benar melahirkan seorang bayi laki-laki sebesar kelingking. Betapa bahagianya sepasang suami-istri itu, karena telah memperoleh seorang anak yang sudah lama mereka idam-idamkan. Mereka pun memberinya nama Kelingking. Mereka mengasuhnya dengan penuh kasih sayang hingga menjadi dewasa. Hanya saja, tubuhnya masih sebesar kelingking.  
Pada suatu hari, Negeri Jambi didatangi Nenek Gergasi. Ia adalah hantu pemakan manusia dan apa saja yang hidup. Kedatangan Nenek Gergasi itu membuat penduduk Negeri Jambi menjadi resah, termasuk keluarga Kelingking. Tak seorang pun warga yang berani pergi ke ladang mencari nafkah. Melihat keadaan itu, Raja Negeri Jambi pun segera memerintahkan seluruh warganya untuk mengungsi.
“Anakku! Ayo bersiap-siaplah! Kita harus pindah dari tempat ini untuk mencari tempat lain yang lebih aman,” ajak ayah Kelingking.
Mendengar ajakan ayahnya itu, Kelingking terdiam dan termenung sejenak. Ia berpikir mencari cara untuk mengusir Nenek Gergasi itu. Setelah menemukan caranya, Kelingking pun berkata kepada ayahnya, “Tidak, Ayah! Aku tidak mau pergi mengungsi.”
“Apakah kamu tidak takut ditelan oleh Nenek Gergasi itu?” tanya ayahnya.
“Ayah dan Emak jangan khawatir. Aku akan mengusir Nenek Gergasi itu dari negeri ini,” jawab si Kelingking.
“Bagaimana cara kamu mengusirnya, sedangkan tubuhmu kecil begitu?” tanya emaknya.
“Justru karena itulah, aku bisa mengusirnya,” jawab si Kelingking.
“Apa maksudmu, Anakku?” tanya emaknya bingung.
“Begini Ayah, Emak. Tubuhku ini hanya sebesar kelingking. Jadi, aku mudah bersembunyi dan tidak akan terlihat oleh hantu itu. Aku mohon kepada Ayah agar membuatkan aku lubang untuk tempat bersembunyi. Dari dalam lubang itu, aku akan menakut-nakuti hantu itu. Jika hantu itu telah mati, akan aku beritakan kepada Ayah dan Emak serta semua penduduk,” kata Kelingking.
Sang Ayah pun memenuhi permintaan Kelingking. Ia membuat sebuah lubang kecil di dekat tiang rumah paling depan. Setelah itu, ayah dan emak Kelingking pun berangkat mengungsi bersama warga lainnya. Maka tinggallah sendiri si Kelingking di dusun itu. Ia pun segera masuk ke dalam lubang untuk bersembunyi.
Ketika hari menjelang sore, Nenek Gergasi pun datang hendak memakan manusia. Alangkah marahnya ketika ia melihat kampung itu sangat sepi. Rumah-rumah penduduk tampak kosong. Begitu pula dengan kandang-kandang ternak.
“Hai, manusia, kambing, kerbau, dan ayam, di mana kalian? Aku datang ingin menelan kalian semua. Aku sudah lapar!” seru Nenek Gergasi dengan geram.
Kelingking yang mendengar teriakan itu pun menyahut dari dalam lubang.
“Aku di sini, Nenek Tua.”
Nenek Gergasi sangat heran mendengar suara manusia, tapi tidak kelihatan manusianya. Ia pun mencoba berteriak memanggil manusia. Betapa terkejutnya ia ketika teriakannya dijawab oleh sebuah suara yang lebih keras lagi. Hantu itu pun mulai ketakutan. Ia mengira ada manusia yang sangat sakti di kampung itu. Beberapa saat kemudian, si Kelingking menggertaknya dari dalam lubang persembunyiannya.
“Kemarilah Nenek Geragasi. Aku juga lapar. Dagingmu pasti enak dan lezat!”  
Mendengar suara gertakan itu, Nenek Gergasi langsung lari tungganglanggang dan terjerumus ke dalam jurang dan mati seketika. Si Kelingking pun segera keluar dari dalam lubang tempat persembunyiannya. Dengan perasaan lega, ia pun segera menyampaikan berita gembira itu kepada kedua orangtuanya dan para warga, kemudian mengajak mereka kembali ke perkampungan untuk melaksanakan keseharian seperti biasanya. Mereka pun sangat kagum pada kesaktian Kelingking.
Berita tentang keberhasilan Kelingking mengusir Nenek Gergasi itu sampai ke telinga Raja. Kelingking pun dipanggil untuk segera menghadap sang Raja. Kelingking ditemani oleh ayah dan emaknya.
“Hai, Kelingking! Benarkah kamu yang telah mengusir Nenek Gergasi itu?” tanya sang Raja.
“Benar, Tuanku! Untuk apa hamba berbohong,” jawab si Kelingking sambil memberi hormat.
“Baiklah, Kelingking. Aku percaya pada omonganmu. Tapi, ingat! Jika hantu pemakan manusia itu datang lagi, maka tahu sendiri akibatnya. Kamu akan kujadikan makanan tikus putih peliharaan putriku,” acam sang Raja.
“Ampun, Tuanku! Jika hamba terbukti berbohong, hamba siap menerima hukuman itu. Tapi, kalau hamba terbukti tidak berbohong, Tuanku berkenan mengangkat hamba menjadi Panglima di istana ini,” pinta Kelingking.
Walaupun permintaan Kelingking itu sangatlah berat, sang Raja menyanggupinya dengan pertimbangan bahwa mengusir hantu Nenek Gergasi tidaklah mudah.
Setelah itu, Kelingking bersama kedua orangtuanya memohon diri untuk kembali ke rumahnya. Dalam perjalanan pulang, ayah dan emaknya selalui dihantui rasa cemas dan takut kalau-kalau Nenek Gergasi kembali lagi. Hal itu berarti nyawa anaknya akan terancam. Sesampainya di rumah, mereka pun meminta kepada Kelingking agar menceritakan bagaimana ia berhasil mengusir hantu itu. Kelingking pun menceritakan semua peristiwa itu dari awal kedatangan hantu itu hingga lari tungganglanggang.
“Apakah kamu yakin Nenek Gergasi tidak akan kembali lagi ke sini?” tanya ayahnya.
Mendengar pertanyaan itu, Kelingking terdiam. Hatinya tiba-tiba dihinggapi rasa ragu. Jangan-jangan hantu itu kembali lagi. Rupanya, si Kelingking tidak mengetahui bahwa Nenek Gergasi itu telah mati karena terjerumus ke dalam jurang.
Seminggu telah berlalu, Nenek Gergasi tidak pernah muncul lagi. Namun, hal itu belum membuat hati Kelingking tenang. Suatu hari, ketika pulang dari ladang bersama ayahnya, ia menemukan mayat Nenek Gergasi di jurang. Maka yakinlah ia bahwa Nenek Gergasi telah mati dan tidak akan lagi mengganggu penduduk Negeri Jambi.
Keesokan harinya, Kelingking bersama kedua orangtuanya segera menghadap raja untuk membuktikan bahwa ia benar-benar tidak berbohong. Dengan kesaksian kedua orangtuanya, sang Raja pun percaya dan memenuhi janjinya, yakni mengangkat Kelingking menjadi Panglima.
Setelah beberapa bulan menjadi Panglima, Kelingking merasa perlu seorang pendamping hidup. Ia pun menyampaikan keinginannya itu kepada kedua orangtuanya.
“Ayah, Emak! Kini aku sudah dewasa. Aku menginginkan seorang istri. Maukah Ayah dan Emak pergi melamar putri Raja yang cantik itu untukku?” pinta Kelingking.
Alangkah terkejutnya kedua orangtuanya mendengar permintaan Kelingking itu.
“Ah, kamu ini ada-ada saja Kelingking! Tidak mungkin Baginda Raja mau menerima lamaranmu. Awak kecil, selera gedang (besar),” sindir ayahnya.
“Tapi, kita belum mencobanya, Ayah! Siapa tahu sang Putri mau menerima lamaranku,” kata Kelingking.
Mulanya kedua orangtuanya enggan memenuhi permintaan Kelingking. Tapi, setelah didesak, akhirnya mereka pun terpaksa menghadap dan siap menerima caci maki dari Raja. Ternyata benar, ketika menghadap, mereka mendapat cacian dari Raja.
“Dasar anakmu si Kelingking itu tidak tahu diuntung! Dikasih sejengkal, minta sedepa. Sudah diangkat menjadi Panglima, minta nikah pula!” bentak sang Raja.
Mendengar bentakan itu, kedua orangtua Kelingking tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka pun pulang tanpa membawa hasil. Mendengar berita itu, Kelingking tidak berputus asa. Ia meminta agar mereka kembali lagi menghadap Raja, namun hasilnya pun tetap nihil. Akhirnya, Kelingking memutuskan pergi menghadap bersama ibunya. Sesampainya di istana, mereka tetap disambut oleh keluarga istana. Sang Putri pun hadir dalam pertemuan itu. Kelingking menyampaikan langsung lamarannya kepada Raja.
“Ampun, Tuanku! Izinkanlah hamba menikahi putri Tuanku,” pinta Kelingking kepada sang Raja.
Mengetahui bahwa ayahandanya pasti akan marah kepada Kelingking, sang Putri pun mendahului ayahnya berbicara.
“Ampun, Ayahanda! Perkenankanlah Ananda menerima lamaran si Kelingking. Ananda bersedia menerima Kelingking apa adanya,” sahut sang Putri.
“Nanti engkau menyesal, Putriku. Masih banyak pemuda sempurna dan gagah di negeri ini. Apa yang kamu harapkan dari pemuda sekecil Kelingking itu,” ujar sang Raja.
“Ampun, Ayahanda! Memang banyak pemuda gagah di negeri ini, tapi apa jasanya kepada kerajaan? Sementara si Kelingking, meskipun tubuhnya kecil, tapi ia telah berjasa mengusir dan membunuh hantu Nenek Gergasi,” tandas sang Putri.
Mendengar pernyataan putrinya, sang Raja tidak berkutik. Ia baru menyadari bahwa ternyata si Kelingking telah berjasa kepada kerajaan dan seluruh penduduk di negeri itu. Akhirnya, sang Raja pun menerima lamaran si Kelingking.
Seminggu kemudian. Pesta pernikahan Kelingking dengan sang Putri dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam dengan dimeriahkan oleh berbagai pertunjukan seni dan tari. Tamu undangan berdatangan dari berbagai penjuru Negeri.
Dari kejauhan, tampak hanya sang Putri yang duduk sendirian di pelaminan. Si Kelingking tidak kelihatan karena tubuhnya terlalu kecil. Di antara tamu undangan, ada yang berbisik-bisik membicarakan tentang kedua mempelai tersebut.
“Kenapa sang Putri mau menikah dengan si Kelingking? Bagaimana ia bisa mendapatkan keturunan, sementara suaminya hanya sebesar kelingking?” tanya seorang tamu undangan.
“Entahlah! Tapi, yang jelas, sang Putri menikah dengan si Kelingking bukan karena ingin mendapatkan keturunan, tapi ia ingin membalas jasa kepada si Kelingking,” jawab seorang tamu undangan lainnya.
Usai pesta pernikahan putrinya, sang Raja memberikan sebagian wilayah kekuasaannya, pasukan pengawal, dan tenaga kerja kepada si Kelingking untuk membangun kerajaan sendiri. Setelah istananya jadi, Kelingking bersama istrinya memimpin kerajaan kecil itu. Meski hidup dalam kemewahan, istri Kelingking tetap menderita batin, karena si Kelingking tidak pernah mengurus kerajaan dan sering pergi secara diam-diam tanpa memberitahukan istrinya. Namun, anehnya, setiap Kelingking pergi, tidak lama kemudian seorang pemuda gagah menunggang kuda putih datang ke kediaman istrinya.
“Ke mana suamimu si Kelingking?” tanya pemuda gagah itu.
“Suamiku sedang bepergian. Kamu siapa hai orang muda?” tanya sang Putri.
“Maaf, bolehkah saya masuk ke dalam?” pinta pemuda itu.
“Jangan, orang muda! Tidak baik menurut adat,” cegat sang Putri.
Pemuda itu pun tidak mau memaksakan kehendaknya. Dia pun berpamitan dan pergi entah ke mana. Melihat gelagat aneh pemuda itu, sang Putri pun mulai curiga. Pada malam berikutnya, ia berpura-pura tidur. Si Kelingking yang mengira istrinya sudah tidur pulas pergi secara diam-diam. Namun, ia tidak menyadari jika ternyata istrinya membututinya dari belakang.
Sesampainya di tepi sungai, si Kelingking pun langsung membuka pakaian dan menyembunyikannya di balik semak-semak. Kemudian ia masuk berendam ke dalam sungai seraya berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sebentar setelah membaca doa, tiba-tiba seorang pemuda gagah berkuda putih muncul dari dalam sungai. Alangkah, terkejutnya sang Putri menyaksikan peristiwa itu.
“Hai, bukankah pemuda itu yang sering datang menemuiku?” gumam sang Putri.
Menyaksikan peristiwa itu, sadarlah sang Putri bahwa pemuda gagah itu adalah suaminya, si Kelingking. Dengan cepat, ia pun segera mengambil pakaian si Kelingking lalu membawanya pulang dan segera membakarnya. Tidak berapa lama setelah sang Putri berada di rumah, pemuda berkuda itu datang lagi menemuinya lalu berpamitan seperti biasanya. Namun, ketika sang Putri akan masuk ke dalam rumah, tiba-tiba pemuda gagah itu kembali lagi menemuinya.
“Maafkan Kanda, Istriku! Percayalah pada Kanda, Dinda! Kanda ini adalah si Kelingking. Kanda sudah tidak bisa lagi menjadi si Kelingking. Pakaian Kanda hilang di semak-semak. Selama ini Kanda hanya ingin menguji kesetiaan Dinda kepada Kanda. Ternyata, Dinda adalah istri yang setia kepada suami. Izinkanlah Kanda masuk, Dinda!” pinta pemuda gagah itu.
Dengan perasaan senang dan gembira, sang Putri pun mempersilahkan pemuda itu masuk ke dalam rumah, karena ia tahu bahwa pemuda gagah itu adalah suaminya, si Kelingking. Setelah itu, sang Putri pun bercerita kepada suaminya.
“Maafkan Dinda, Kanda! Dindalah yang mengambil pakaian Kanda di semak-semak dan sudah Kanda bakar. Dinda bermaksud melakukan semua ini karena Dinda ingin melihat Kanda seperti ini, gagah dan tampan,” kata sang Putri.
Kelingking pun merasa senang melihat istrinya bahagia karena mempunyai suami yang gagah dan tampan. Akhirnya, mereka pun hidup bahagia. Si Kelingking memimpin negerinya dengan arif dan bijaksana, dan rakyatnya hidup damai dan sejahtera.


SITIHA DAN SISITI
Cerita Rakyat Dari Jambi


Tersebutlah disebuah desa yang terpencil, hiduplah dua gadis remaja yang bernama Sitiha dan Sisiti. Pada suatu hari, datanglah seorang pemuda berkunjung kerumah mereka dengan maksud untuk berteduh karena hari sedang hujan. Pemuda itupun dipersilakan masuk oleh Sitiha dan Sisiti. Tak beberapa lama terasa akan sebuah keganjilan yang dilihat oleh pemuda tersebut, karena ia melihat bahwa Sitiha dan Sisiti memberi makan seekor kucing dengan makanan yang lezat dan beralaskan piring yang sangat indah. maka bertanyalah pemuda tersebut.

               "Haii Sitiha dan Sisiti, mengapa engkau memberi makan seekor kucing kampung dengan makanan yang mewah ini?" ujar pemuda tersebut.

               "Karena kucing ini tak lain adalah ibu kandung kami" jawab Sitiha.


               "Oh begitu. Tak merasa malukah engkau karena memiliki ibu seekor kucing kampung? Hmm.. langit sudah cerah kembali, terima kasih atas tummpangannya. Permisi" ujar pemuda tersebut seraya berpamitan pulang.

               Mendengar ucapan pemuda tersebut, maka Sitiha dan Sisiti merasa malu. Lalu mereka memutuskan untuk meninggalkan ibu mereka dan pergi untuk mencari ibu yang lebih layak untuk mereka.

               Sampai disuatu tempat, Sitiha dan Sisiti bertemu dengan matahari. Lalu mereka bertanya pada matahari tersebut.

                "Wahai matahari, maukah engkau kami jadikan sebagai ibu kami?" ujar Sitiha dan Sisiti.

                "Sebuah kehormatan untuk menjadi ibumu. Tentu saja aku mau.. Namun..." jawab sang matahari.

                "Namun apa?"

                "Namun apabila awan datang. Maka aku tak terlihat. Jadi alangkah baiknya jika engkau menjadikan awan sebagai ibumu?" Saran sang Matahari.

                "Baiklah" jawab mereka singkat.


Sisiti dan Sitiha pun melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari awan. Tak berapa lama bertemulah mereka dengan segumpal awan putih yang besar. Dengan berani Sitiha dan Sisiti bertanya kepada sang Awan.


                "Wahai Awan.. Maukah engkau menjadi ibu kami??"

                "Hmm, senang sekali mendengarnya. Tapi lihatlah angin yang perlahan berhembus kemari. Jika datang angin kencang maka aku akan terseret dan terhempas ke gunung. Dengan keadaan itu apakah kau mau menjadikan aku sebagai Ibumu??"

                "Oh begitu rupanya. Mungkin aku harus mencari gunung untuk dijadikan ibuku"

                "Kalau begitu pergilah"

Maka Sitiha dan Sisitipun melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari sebuah gunung. Cukup jauh mereka berjalan, menyusuri hutan, naik turun bukit, dicegah binatang buas. Namun mereka tetap melewatinya dengan harapan bahwa Gunung akan menjadi Ibu mereka. Setelah berhari-hari sampailah mereka disebuah gunung berapi yang kokoh. Dan bertanyalah mereka.
                "Wahai gunung.. Sudikah engkau menjadi ibu kami??"

                "Sebenarnya aku sudi, namun terlebih dulu kau harus tahu kekuranganku. Agar kalian dapat memutuskan apakah aku layak untuk menjadi ibu kalian?"

                "Ceritakanlah wahai Gunung apa kekuranganmu"

                "Lihatlah lerengku yang berbatu ini. Penuh dengan lubang disetiap jengkalnya. Lubang itu dibuat oleh tikus tanah."

                "Hmmm.. Mungkin Tikuslah yang pantas menjadi ibu kami"

Lalu dengan pasti mereka melanjutkan perjalanan untuk mencari Tikus tanah, mereka menyusuri lereng dan melihat lubang demi lubang untuk mencari sang tikus tanah. Tak lama kemudian bertemulah mereka dengan tikus tanah tersebut.


                "Haii Tikus tanah, maukah engkau menjadi ibu kami?? namun sebelum itu sebutkan dulu kelemahanmu."


                "Hmm.. Kelemahanku ada pada kucing. Karena setiap waktu aku harus senantiasa bersembunyi agar tak tertangkap oleh kucing. Karena apabila kucing melihatku maka habislah riwayatku" Ujar sang tikus.

   
                "Kucing??" Mereka berpandangan seolah menyadari apa yang telah mereka lakukan selama ini kepada ibu kandung mereka. Mereka sadar dan akhirnya memutuskan untuk kembali kerumah.


Sesampainya dirumah langsung berderai air mata keduanya karena melihat tubuh sang ibu yang kurus karena menghawatirkan nasib kedua anaknya. Sejak saat itu Sitiha dan Sisiti bertekad untuk selalu mengasihi dan merawat ibunya dengan sepenuh hati.


Cerita Merangin - Jambi


SEJARAH SUNGAI MERANGIN DAN SUNGAI MASUMAI,
JUGA BUAYA PUTIH NYA

Kota bangko,adalah kota yang terletak di tengah kabupaten merangin.sebuah kabupaten di propinsi jambi.kota bangko memiliki dua sungai besar,yaitu sungai merangin dan sungai mesumai yang kedua sungai ini bertemu pada suatu muara ,yang di namakan ujung tanjung muara mesumai.ujung tanjung muara mesumai sendiri juga berfungsi sebagai taman kota,dimana taman ini banyak di kunjungi masyarakat merangin,khusus nya oleh para remaja pada sore maupun malam hari.
Berbicara tentang sungai,kedua sungai ini mempunyai sejarah yang sangat menarik,dimana pada jaman dahulu berdirilah sebuah kerajaan yang bernama kerajaan merangin.raja merangin memiliki seorang putra tunggal yang bernama alam jaya.alam jaya sendiri terkenal sangat sombong,angkuh,dan terkadang bertindak semaunya terhadap rakyat-rakyat kecil.
Pada suatu hari,alam jaya sedang pergi berburu ke sebuah hutan yang tak jauh dari kerajaan,daerah itu kini kita kenal dengan nama bukit aur.disana,tanpa disengaja alam jaya bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik.gadis itu bernama Selasih.alam  jaya ingin sekali memiliki selasi,bahkan ingin mmperistrinya.namun sayang sekali,selasih sendiri menolak karna tidak lama lagi dia akan melangsungkan pernikahannya dengan seorang pemuda biasa,yang bernama mesumai.tentu saja alam jaya merasa terhina akan penolakan itu.
Malam itu,alam jaya pergi menemui kedua orang tua selasi,alam jaya membujuk agar pernikahan selasih di batalkan.alam jaya juga menjanjikan ,jika dia bisa menikahi selasih,maka kebutuhan hidup seluruh keluarga selasih akan ditanggung oleh nya,bahkan akan tinggal di istana bersamanya.mendengar tawaran itu,kedua orang tua selasih kahirnya menyetujui permintaan alam jaya.namun ternyata tanpa disengaja selasih mndengar pembicaraan itu.
Malam itu,selasih langsung secepatnya menemui mesumai,dan menceritakan semua yang dia dengar tadi.mesumai yang merasa tak akan mampu untuk bersaing denga seorang putra raja,langsung mengambil keputusan untuk membawa selasih pergi dari wilayah merangin.namun sayang,di tengah pelarian,alam jaya dan pasukan nya berhasil menangkap mesumai dan selasih.maka mereka berdua di bawa ke istana untuk diadili,dengan tuduhan perzinahan.tuduhan itu sendiri merupakan rekayasa dari alam jaya sendiri.
Namun,ternyata fitnah itu tidak dipercayai oleh petinggi-petinggi kerajaan,karena mereka tau watak seorang alam jaya.dan disana,mesumai memberanikan diri untuk berontak,dan menceritakan apa yang sebenrnya.maka raja memutuskan,untuk mengadakan tanding pacuan kuda.siapa yang terlebih dahulu berhasil mencapai garis finish,maka dialah yang akan menikahi selasih.mesumai menerima tantangan itu,dengan perjanjian,tidak ada kecurangan dalam pertandingan ini.dan mesumai besumpah,jika ada kecurangan,maka wilayah merangin akan mendapat suatu bahaya.dan raja pun menyetujui sumpah itu.
Keesokan hari nya,pentandingan pun dimulai.petandingan ini memiliki garis star dan jalur yang berbeda,namun memiliki garis finish yang sama.pertandingan ini di mulai pada saat ayam mulai bekokok.pertandingan pun dimulai dengan lintasan yang cukup jauh,kira-kira 40km.dan akhirnya,tanpa diduga,ternyata mesumai lah yang berhasil mencapai garis finish terlebih dahulu.teriakan gembira serta tepuk tangan dari penonton pun ternyata membuat alam jaya menjadi malu,bahwa seorang putra tunggal raja ternyata dapat dikalahkan oleh pemuda biasa.dari atas kuda nya,alam jaya yang begitu di penuhi rasa amarah dan rasa malu,langsung saja menebas leher mesumai dengan pedang.dan tewas lah mesumai.
Rakyat dan petinggi kerajaan hanya bias terdiam dan terpana melihat kejadian itu.namun raja pun memerintahkan pasukan untuk memenjarakan putra tunggal nya sendiri.namun tak lama kemudian sebuah gempa besar terjadi,ternyata perjanjian yang dilanggar oleh alam jaya menjadi sebuah bencana besar untuk wilayah merangin.kedua jalur yang di lalui oleh kedua pemuda tadi menjadi longsor,dan menjadi sungai yang mengaliri air yang begitu panas dan kedua sungai itu bertemu dan membentuk sebuah muara.sungai tersebut membuat masyarakat resah karna untuk kembali kerumah mereka masing-masing sangat tidak mungkin mampu mnyebrangi sungai yang begitu panas.
Malam pun tiba,malam itu seorang penasehat raja yang juga seorang ulama bermimpi,bahwa bencana ini akan berakhir jika ada seorang yang mau mengorbankan diri nya untuk masuk kedalam sungai sungai panas itu.pagi pun tiba,pagi di tengah kerumanan marsayarakat dan petinggi-petinggi kerajaan,penasehat raja mengumumkan tentang mimpi yang didpat nya semalam.namu tak ada seorang pun yang mau untuk menjadi tumbal.dan tampa disengaja,selasih yang merasa hidupnya kini tiada arti lagi,juga mengingat keputusan kedua orang tua nya yang lebih mementingkan harta dibanding kebahagiaan anak nya sendiri,selasih memutuskan untuk rela menjadi tumbal.walau tanpa persetujuan kedua orang tua nya selasih tetap saja kuat kepada keputusannya.akhirnya dengan di saksikan rakyat dan petinggi-ptinggi kerajaan merangin juga triakan larangan juga tangis kedua orang tua nya yang tak dihiraukan nya lagi,selasih mulai berjalan dan turun,lalu masuk kedalam sungai panas tersebut.
Dan benar,dan tak lama kemudian air sungai yang tadinya mengaliri air yang begitu panas,kini berubah seketika menjadi sungai biasa.dua sungai besar yang bertemu di sebuah muara,dan membentu huruf Y.kedua sungai itu di berinama sungai mesumai dan sungai merangin.
Namun sejarah ternya tidak berhenti sampai disini.ternya,di muara tersebut rakyat sangat sering sekali melihat sosok seekor buaya putih.buaya putih tersebut sangat sering menampakan wujudnya pada saat malam di bulan purnama.buaya putih tersebut di percaya sebagai jelmaan selasih yang tlah mengorbankan dirinya demi keselamatan wilayah merangin.hingga jaman sekarang pun,buaya putih tersebut masih sangat sering menampakan wujud nya.


LEGENDA DANAU KERINCI

 

 

Konon menurut cerita Danau Kerinci tidak seperti sekarang ini. Asal muasalnya adalah dari sebuah danau yang sangat besar sehingga diberi nama Danau Gedang. Pada waktu itu Lembah Kerinci belum ada, karena masih tertutup oleh permukaan Danau Gedang tersebut. Ada satu kisah yang menceritakan terjadinya Danau dan Lembah Kerinci sehingga mejadi seperti sekarang ini.
Kisahnya berawal dari dua orang kakak beradik yang tinggal di sebuah rumah di kaki Gunung Kerinci. Mereka yatim piatu, sang kakak bernama Calungga sedang adiknya bernama Calupat. Sang kakak berwatak pemberang, kasar dan berani. Sedangkan adiknya berwatak halus serta cerdas. Sifat itu dipengaruhi oleh sepasang mustika yang diwariskan oleh orangtua mereka. Calungga mendapat batu merah sedang Calupat mendapat batu putih. Batu merah akan membuat pemiliknya menjadi pemberani dan memiliki kesaktian luar biasa, sementara batu putih membawa keberuntungan dan kejayaan bagi pemiliknya.
Pada suatu hari ketika sedang berburu di hutan, Calunga menemukan sebuah telur yang sangat besar, sebesar kelapa dangan kulit yang putih berkilau.  Karena tertarik Calungga membawa telur tersebut pulang. Calupat juga merasa heran pada telur yang dibawa kakaknya, Calupat mengusulkan untuk menyimpan telur itu selama tiga hari sambil ia minta petunjuk pada Dewa. Tetapi sewaktu Calupat sedang memancing, telur tersebut direbus oleh Calungga yang sudah tidak tahan ingin merasakan telur itu. Kemudian telur itu dimakan Calungga sampai habis, dan tertidur kekenyangan.
Ketika adiknya pulang, Calungga terbangun dengan rasa haus yang luar biasa sehingga diminumnya semua air yang ada dirumah. Tetapi rasa haus itu tidak hilang meski badanya sudah gembung oleh air. Calungga lalu pergi ke sungai dan minum sepuasnya sehingga tubuhnya makin menggelembung dan memanjang. Keesokan harinya Calupat pergi ke sungai dan mendapati kakaknya sudah berubah wujud. Di badan Calungga muncul sisik-sisik sebesar nyiru dengan warna berkilauan. Saat itu Calungga masih terus minum air sehingga sungai disekitar Gunung Berapi banyak yang kering. Konon sungai-sungai itu sekarang disebut Sungai Kering.
Ketika melihat Calupat, Calungga segera menyuruh adiknya pergi jauh. Karena takut, Calupat pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan sedih harus bepisah dengan kakak yang disayanginya itu. Tak lama kemudian Calungga yang sudah berubah wujud menjadi seekor naga mengucapkan mantera-mantera. Seketika bumi bergetar, hujan badai turun dengan disertai guntur yang menggelegar. Air bah muncul dimana-mana sehingga menggenangi tempat Naga Calungga. Naga memutarkan badannya lalu berenang menuju Danau Gedang. Konon tempat naga mengisar dan memutar sekarang dikenal sebagai Danau Bento. Sedangkan sisik naga yang terkelupas berubah mejadi ikan yang bernama Simambang Bulan yang dianggap sebagai nenek moyang ikan Semah.
Tiga musim berlalu, Calupat kembali ke Danau Gedang, di tepi Danau Gedang ia berdiri dan memanggil-manggil kakaknya. Seketika dari air muncul seekor naga yang tak lain adalah kakaknya.  Sambil menangis gembira Calupat menceritakan keinginannya untuk pergi ke tempat dimana banyak orang tinggal (suatu desa). Calungga mengabulkan keinginan adiknya, ia menggendong Calupat di punggungnya lalu berenang mengarungi danau hingga sampai ke sungai sempit tempat keluarnya air danau dan tidak cukup untuk badannya yang besar. Namun dengan kesaktian Naga Calungga menjebol sungai tersebut sambil terus berenang menuju hilir hingga tiba di sebuah negri di pinggir sungai. Di tempat itu Calupat kemudian menetap. Beberapa tahun kemudian karena kepandaian dan sifatnya yang baik ia menjadi pemimpin di negri tersebut. Naga Calungga sendiri setelah mengantarkan adiknya lalu menyelam ke dalam sungai dan pergi entah kemana.
Sementara itu karena saluran pelepasan jebol oleh Naga Calungga, air Danau Gedang melimpah sehingga permukaan danau surut dan terbentuklah dataran luas yang sekarang dikenal dengan Dataran Kerinci. Danau Gedang yang tersisa berubah nama menjadi Danau Kerinci, dan sungai tempat keluarnya naga Calungga adalah sungai yang dikenal sebagai Sungai Batang Merangin.(*)



Asal Usul Negeri Jambi


Pada zaman dahulu, di Pulau Sumatera ada seorang gadis cantik bernama Putri Pinang Manak. Putri itu sangat terkenal bukan hanya karena kecantikan, namun juga karena sifatnya yang lemah-lembut dan baik hati.
Putri Pinang memiliki kecantikan yang sangat luar biasa. Kulitnya putih kemerah-merahan seperti namanya, yaitu bagai kulit pinang yang masak. Siapa pun yang melihat kecantikan sang putrid pasti akan terpesona.
Semua penduduk negeri itu menyukai Putri Pinang. Para wanita, terutama yang seumur dengannya ingin bersahabat dengannya. Sebaliknya, para pemuda dan pangeran ingin mempersuntingnya.
Pada suatu hari datanglah lamaran seorang raja yang kaya raya dan amat luas kekuasaannya. Dia memiliki tambang emas dan perak. Tentu jika lamarannya ditolak, pasti sang raja akan marah dan murka, bahkan mungkin akan timbul pertumpahan darah. Namun, dengan demikian tuan putrid tidak menyukai raja tersebut. Konon karena raja itu berwajah buruk.
Putri Pinang bingung. Ia mencari akal bagaimana cara untuk menggagalkan lamaran raja. Setelah diam sejenak, Putri Pinang berkata kepada utusan raja, “Baiklah, lamaran aku terima tetapi ada dua syarat yang harus dipenuhi Sang Raja.”
“Apa saja syaratnya Tuan Putri?” Tanya utusan raja.
“Syarat pertama, Baginda raja harus dapat membuat istana yang indah dan megah berikut isi perabotannya hanya dalam waktu satu malam. Mulai terbenam matahari sampai ayam berkokok bersahut-sahutan.”
“Hamba akan sampaikan, Sang Putri. Kemudian apa syarat yang kedua, Tuan Putri?” Tanya utusan raja. Tuan putrid menjawab, “Syarat yang kedua, jika Baginda gagal memenuhi syarat yang pertama, maka dia harus menyerahkan semua kekayaan dan kerajaannya.”
Begitu mendengar syarat yang kedua, utusan raja itu menjadi merah padam. Namun demikian, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Kemudian utusan raja itu segera pulang dan menghadap Sang Raja.
Setelah persyaratan yang diajukan Putri Pinang disampaikan kepada Sang Raja, ia sangat terkejut karena Baginda raja menyanggupi syarat-syarat itu. Begitu Sang Raja menyatakan kesanggupannya, penasihat raja berkata, “Wahai tuanku! Sadarkah tuan resiko jika Tuan gagal memenuhi syarat tersebut? Tuan akan kehilangan seluruh kekayaan alam dan kerajaannya.”
“Tidak mengapa, bukankah sudah lama aku hidup seorang diri. Kini saatnya aku mengambil seorang permaisuri. Aku sangat mencintai Putri Pinang dan saya yakin dapat memenuhinya.”
Kemudian Sang Raja mengumpulkan rakyat dan ahli pertukangan di kerajaan. Bahkan ia menyewa dan berani membayar mahal para tukang dari luar negeri agar pekerjaannya cepat selesai. Para tukang diperintah bekerja keras dan cepat karena istana tersebut harus selesai dalam waktu satu malam.
Pembangunan istana mulai dilaksanakan tepat ketika matahari terbenam. Beribu-ribu tukang pandai dikerahkan sehingga terlihat terang benderang. Setiap saat raja berkeliling memeriksa orang-orang yang sedang bekerja.
Raja tampak bahagia karena tepat tengah malam separuh pembangunan istana telah selesai dengan sempurna. Sebaliknya, Putri Pinang merasa sangat cemas dan khawatir. Sebab permintaannya untuk membuat istana dalam waktu satu malam hanyalah sekadar alas an yang dicari-cari belaka. Hal ini ia lakukan agar raja tidak menikahinya.
Sang Raja bertambah bahagia ketika menjelang pagi dan istana hampir jadi. Sebaliknya, Tuan Putri semakin cemas dan bingung. Makan tidak enak dan tidur pun tidak nyenyak. Ia terus mencari akal dan tiba-tiba Tuan Putri mendapatkan akal. Kemudian ia pergi ke kandang ayam. Ayam-ayam itu mengira hari telah siang. Ayam-ayam itu pun berkokok berulang-ulang. Raja yang sedang memeriksa rakyat dan para pekerja yang sedang bekerja itu terkejut.
Dengan sangat berat hati Bagina berkata kepada rakyatnya dan para tukang, “Sudah, hentikan pekerjaan ini!”
“Mengapa, Baginda? Bukankah pekerjaan kita sudah hampir selesai?” Tanya salah seorang pekerja.
“betul katamu, tapi kita telah kalah. Dalam perjanjian, istana ini sudah harus selesai sebelum ayam berkokok,” jawab Baginda.
“Tetapi, sebenarnya hari belum pagi, tidak seharusnya ayam-ayam berkokok. Sungguh aneh …!” ujar para tukang.
“Sudahlah, kembalilah kalian ke tempat masing-masing. Kita sudah gagal memenuhi persyaratan Putri Pinang. Sebagaimana dalam perjanjian, batas selesainya adalah sampai ayam berkokok bersahut-sahutan”, demikian kata raja.
Dengan perasaan kecewa dan terpaksa, para pekerja akhirnya menghentikan semua pekerjaan. Mereka kembali ke negeri asal masing-masing. Baginda raja tetap berdiri di tempat semula. Hatinya hancur.
Dari balik bangunan istana yang belum jadi, Putri Pinang datang menemui Baginda raja. Ia berkata, “Baginda, Anda telah gagal memenuhi syarat saya maka sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat, Baginda harus menyerahkan seluruh harta dan kerajaan.”
Akhirnya, Baginda raja menyerahkan segala kekayaan dan kerajaannya kepada Putri Pinang. Sejak saat itu negeri timur berubah nama menjadi negeri Putri Pinang. Dan gadis cantik itu menjadi rajanya. Orang-orang dari negeri lain menyebut negeri itu sebagai Negeri Pinang. Sedang dalam bahasa Jawa, pinang itu berarti jambe. Dari situ para raja di Jawa menyebut negeri itu sebagai kerajaan Jambe. Lama-lama sebutan Jambe berubah menjadi Jambi.





Danau Kaco, masyarakat setempat menyebutnya yang dalam bahasa Indonesia berarti kaca. Danau kaco memang mempunyai air yang sangat bening kebiruan. Terletak di kentinggian 1289 diatas permukaan air laut, danau ini tergolong danau yang kecil tidak seperti danau-danau pada umumnya. Hanya berukuran luas sekitar 30 x 30 meter, namun danau ini bisa menyuguhkan keindahan tersendiri diantara pepohonan di sekitarnya.
Selain mempunyai air yang sangat bening, kedalaman danau ini masih misteri dan belum ada yang tau pasti berapa kedalamanya. Walaupun kita masih bisa melihat beberapa ikan semah yang berlalu lalang mencari makan. Keajaiban lainnya adalah Danau Kaco ini memancarkan cahaya yang terang saat gelap gulita, apalagi saat bulan purnama. Kebanyakan pengunjung banyak yang bermalam untuk melihat keajaiban ini dan tidak diperlukan penerangan karena terang dari cahaya danau. Beberapa peneliti mencoba untuk mencari jawaban akan fenomena ini, tetapi semua masih misterius dimana dalam penyelaman oksigen habis sebelum menyentuh dasar danau.
Sedikit cerita dari warga setempat. Mitos lahirnya Danau Kaco ini bermula hadirnya sebuah cerita seorang putri cantik yang ingin dipinang oleh banyak pemuda. Tanpa ragu mereka menitipkan bebatuan mulia pada Raja Gagak, ayah sang putri. Akan tetapi, keserakahan justru membuat Raja Gagak menodai putrinya sendiri. Setelah itu, putrinya pun dibenamkan ke dalam danau beserta harta pinangan tersebut.
Untuk menuju ke Danau Kaco ini terbilang tidaklah mudah. Tidak adanya jalan aspal yang lebar ataupun tempat berteduh yang nyaman selama perjalanan. Akan butuh tenaga ekstra untuk mencapai ke danau ini. Pengunjung akan berjalan kaki menyusuri hutan sekitar 4 jam perjalanan, tetntunya dengan keindahan yang mengiringi perjalanan seperti pepohonan besar, suara burung-burung endemik ataupun kupu-kupu nan cantik. Selain pepohonan besar dan rimbun, pengunjung juga akan melewati rimbunya pohon bambu dan menyeberangi sungai dengan air yang jernih. Dan tentunya semua itu akan terbayarkan dengan keindahan Danau Kaco yang seindah mutiara.

Lokasi
Danau Kaco terletak di Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat tepatnya di Desa Lempur, Kecamatan Gunung Raya. Sekitar dua jam dari Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi.

Akses
Danau Kaco dapat ditempuh melalui jalur darat dimulai dari Kota jambi ke sungai Penuh.Jarak antara Jambi ke Sungai Penuh sekitar 500 km dengan waktu tempuh sekitar 10 jam perjalanan. Selanjutnya dari Sungai Penuh dilanjutkan ke desa terdekat yaitu Desa Lempur,Kecamatan Gunung Raya dalam waktu 45 Menit dengan kendaraan roda empat atau pun roda dua. Setelah itu dilanjutkan lagi dengan berjalan kaki menyelusuri hutan sekitar 4 jam untuk sampai ke Danau Kaco.


Asal-usul Nama Lubuk Bedorong – Cerita Rakyat Jambi

 

Zaman dahulu kala, Lubuk Bedorong adalah nama sebuah lubuk, nama itu diberikan oleh seorang yang merancang melatih Desa Lubuk Bedorong namanya Mangkuto Saman, berasal dari pulau Jawa, istrinya bernama Siti Mariam yang berasal dari Jambi.
Setelah menikah Mangkuto Saman mempunyai keinginan untuk mencari wilayah baru sebagai tempat pemukiman mereka. Keinginan tersebut disampaikan kepada kedua mertuanya atas persetujuan kedua mertuanya maka berangkatlah Mangkuto Saman beserta rombongan kearah barat Provinsi Jambi berjumlah 40 orang, yang terdiri dari Mangkuto Saman dan istri dan seorang Sutan Rajo Merah adik dari Siti Mariam, 2 orang pegawai dan 35 orang mempunyai keahlian dipertambangan emas, setelah berbulan-bulan rombongan tersebut berjalan sehingga sampai di Bangko.
Mulai dari Bangko setiap tanah yang ditempuhnya dalam air yang dilaluinya, mereka lihat dan ditelitinya sehingga sampai ke Muara Limun yaitu Desa Pulau Pandan.
Di limun mereka istirahat suatu malam disini mereka memperhatikan perbedaan sungai Batang Asai dengan sungai Batang Limun. Mereka tertarik pada sungai limun karna sungai limun pada muara airnya tenang, jernih, serta banyak ikannya .
Kemudian rombongan mereka melanjutkan perjalanannya, sehingga mereka sampai di muara sipah. Di sipah Mangkuto Saman memerintahkan para pegawainya membuatkan tempat istirahat mereka, karna melihat keadaan tanah sipah kaya akan sumber daya alamnya, Mangkuto Saman dan rombongannya pun menetap disana.
“Ke air berpijak dipinggun ikan kedara, emas di kirai digambut”
Mangkuto Saman memerintahkan anak buahnya membuat perusahaan tambang emas di Sipah. Setelah beberapa hari tinggal di sipah Mangkuto Saman menyuruh istrinya Siti Mariam berjalan dalam satu hari sejauh mana jalan yang dapat ditempuh istrinya berarti sebatas itulah wilayah kekuasaannya.
Maka pergilah Siti Mariam kehilir sungai ate mudik sampai kekejatan kura-kura. Disinilah Siti Mariam melihat kura-kura yang sedang bertengkar, Siti Mariam heran melihatnya, sehingga hari sudah sore barulah Siti Mariam beranjak pergi untuk pulang
Karna hari sudah gelap terpaksa Siti Mariam bermalam dijalan, Mangkuto Saman sangat cemas karna istrinya belum pulang. Pada pagi harinya Mangkuto Saman beserta beberapa pegawainya pergi menyusul istrinya lewat jalan air sedangkan istri Mariam pulang jalan darat setelah sampai, Mangkuto Saman disebuah Lubuk datanglah utusan mengatakan kalau Siti Mariam telah pulang jalan darat.
Oleh karena Mangkuto Saman terdorong / terlanjur mudik, maka lubuk itu dinamakan Lubuk Bedorong. Akhirnya wilayah ini dijadikan pemukiman baru yang dinamakan Desa Lubuk Bedorong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar